Entri Populer

Jumat, 07 Januari 2011

BUNGA UNTUK BUNGA

Bunga untuk Bunga 
Penulis: Qizink La Aziva

Kerbek - Jakarta, Si botak berdiri, tangannya siap memeluk pundak Bunga, namun sebelum sampai, Bunga udah menyekal tangan si botak. Diplintirnya tangan si Botak. Si Botak meringis.


       SMU 12.

       Hari pertama sekolah. Bel berbunyi lima kali, pertanda waktu untuk pulang. Anak kelas 1F berjingkrakan kegirangan. 

       "Nga, kita pulangnya nanti saja," ucap Sulus pada Bunga.

       "Kenapa?"

       "Lo nggak tau apa, siswa STM 301 sedang nongkrong di pintu gerbang sekolah kita."

       "Terus hubungannya dengan kita?"

       "Kamu nih benar-benar tulalit deh. Udah tau kalo siswa STM tuh suka iseng, apalagi lo tuh punya wajah cakep. Pasti mereka akan mengganggu kamu!"

       "Cuekin aja!" ucap Bunga sambil terus berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Sulus mengikutinya dari belakang.

       Betul kata Sulus, di pintu gerbang nampak beberapa anak STM sedang duduk bergerombol.

       "Hai, pulang ya! Mau nggak aku antar." 

       Tiba-tiba salah satu dari siswa STM itu menyapa Bunga dan Sulus. Bunga menoleh kemudian tersenyum.

       "Alamak! Manis sekali senyumannya!" timpal siswa STM yang kepalanya botak.

       Bunga diam, begitu pun Sulus.

       "Koq diam aja, sariawan ya�" kali ini ucapan anak STM berbaju rompi.

       Bunga acuh, begitu pun Sulus.

       "Jangan-jangan mulutnya nggak ada giginya!" ledek si botak.

       Gelak tawa meledak dari mulut-mulut anak STM yang ada di dekat Bunga dan Sulus.

       Bunga mulai dongkol, matanya melotot pada si botak. 

       "Duh, segitunya. Galak amat say!"

       "Bokapnya macan kali!" kembali si botak meledek, "atau dukun santet.. hahaha.."

       Siswa STM kembali tertawa mendengar ledekan si botak pada Bunga. 

       "Udah puas lo pada mengumbar mulutmu yang usil!" ucap Bunga ketus.

       Habis sudah kesabaran Bunga.

       "Gue nggak pernah menyangka, bila ucapan lo tuh nggak ada mutunya sama sekali," omel Bunga.

       "Bahkan nyali lo nggak ada apa-apanya!" tambahnya lagi�

       Sulus nggak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Nekat benar Bunga menantang siswa STM.

       Si botak berdiri, tangannya siap memeluk pundak Bunga, namun sebelum sampai, Bunga udah menyekal tangan si botak. Diplintirnya tangan si Botak. Si Botak meringis.

       "Jangan macem-macem lo!" Ancam Bunga.

       Siswa STM geram. Bunga makin berani, dipelototinya satu-satu mata anak STM itu.

       Tujuh anak STM mulai berdiri mendekati Bunga, entah apa yang akan mereka lakukan pada Bunga dan Sulus.

       "Udah, Nga. Lebih baik kita pergi aja !" ajak Sulus ketakutan. "Nggak perlu diterusin! Percuma melawan orang yang nggak tahu seperti mereka�"

       "Nggak, biar mereka kapok!" tegas Bunga.

       "Tapi mereka tuh suka nekat," ucap Sulus. 

       "Gue nggak mau terjadi apa-apa dengan lo. Gue juga nggak suka diganggu�"

Bunga menatap Sulus, Sulus balas menatap.

       "Priok� Priok� " 

       "Cabut, Lus!" teriak Bunga sambil berlari menuju Bus kota. 

       Bus melaju meninggalkan siswa STM yang berlarian mengejar Bus yang ditumpangi Bunga dan Sulus.



Esok paginya siswa SMU 12 gempar. Beredar kabar kalau siswa STM 301 akan menyerang SMU 12. Sebagai pembalasan atas apa yang dilakukan Bunga kemarin. Bahkan beberapa guru pun mendengar berita yang sangat mengkhawatirkan tersebut. 

Tak berapa lama siswa STM datang. Jumlahnya cukup banyak, sekitar lima puluhan orang. Beberapa siswa pria bersiap-siap di pintu gerbang. Menghadang siswa STM. 

"Mana yang namanya Bunga." ucap salah satu siswa STM galak. 

"Mau apa dengan Bunga?" 

"Bukan urusan lo!" ucap siswa STM, yang tak lain adalah si rambut cepak. 

Siswa SMU 12 geram. Merasa diremehkan siswa STM. 

Tiba-tiba Bunga muncul. Penuh kepercayaan diri, dihadapinya siswa-siswa STM yang telah menunggunya. 

"Ada apa?" tanya Bunga ke siswa STM. 

"Kami�. Kami�..," si cepak berkata terbata. 

Tak ada lagi wajah garang di mukanya. Malah si cepak seperti orang kebingungan menghadapi Bunga. 

"Kenapa dengan kalian?" tanya Bunga lagi. 

"Kami cuma mau minta maaf ama lo!" Salah satu siswa STM menyela. 

"Lo memang benar, kelakuan kami selama ini nggak ada mutunya. Kelakuan kami nggak pantas buat kami yang disebut sebagai pelajar. Sekali lagi gue minta maaf sama lo, Nga!" 

"Kami salut ama lo, yang punya kepercayaan diri buat menjaga harga diri lo sendiri." Sambung yang lain. 

Siswa SMU 12 tersenyum. Bunga terkejut dengan apa yang barusan didengarnya. 

Si cepak maju ke arah Bunga, diulurkan tangan kanannya. "Maafin gue, Nga." Tulus sekali kedengarannya. "Ini bunga buat lo, sebagai tanda persahabatan kami buat lo," ucap si cepak seraya menyerahkan setangkai bunga mawar putih kepada Bunga. 

Bunga menerima uluran tangan dan bunga dari si cepak. Satu persatu siswa STM bersalaman dengan Bunga. saling berkenalan. 

Tak ada lagi dendam di hati mereka. 

Kini mereka dapat bercengkerama seolah tak pernah terjadi sesuatu yang menyakiti mereka. 

Bunga terharu, dua tetes airmatanya keluar membasahi pipinya. Bahagia sekali dia hari ini, menjalin persahabatan dengan orang-orang yang pernah kurang ajar padanya.

aku dan Ve

cuaca mendung pagi ini sama sekali tidak mematahkan semangatku untuk pergi ke sekolah. Mobil dan mang Kardi sudah siap di depan pintu sambil membawa payung. 

Sedangkan mama siap dengan bekal makan siangku. Asyiknya jadi anak tunggal. Segala sesuatu siap di depan mata. Minta apa saja ada dan tak perlu susah. Tiap hari antar-jemput pakai mobil pribadi, tak perlu takut terlambat. Maklum, papa adalah seorang kepala cabang sebuah bank swasta di kotaku ini. 

Mobil BMW keluaran terbaru tiba di depan pintu gerbang sekolahku tepat jam tujuh. Semua mata memandang ke arahku yang keluar dari mobil. Mereka seakan takjub padaku. Bagaimana tidak, aku termasuk anak paling kaya di sekolah ini, cantik, pintar, dan pacarku adalah pebasket paling cakep andalan sekolah. 

Aku melangkah ke kelas dengan langkah pasti. Rambutku yang panjang tergerai menyibak sebagian wajahku. Sahabat-sahabatku pasti sudah menungguku. Mereka menunggu ceritaku dengan Riko, pacarku itu. 

"Halo," sapaku sambil melempar tas ke atas meja dan duduk di antara sahabat-sahabatku.
"Duh, yang habis kencan, senengnya," sahut Riri.

"Cerita dong!" pinta Dani dengan semangat.
"Pokoknya, malam minggu pertama yang sangat berkesan buatku. Dia kasih aku sebuket bunga mawar merah dan Teddy Bear. Trus ada cokelat. Seru banget deh!" ucapku berapi-api memamerkan pacarku. Ya, pacarku yang baru seminggu jadian.

"Eh tuh, sang pangeran datang. Nggak disambut?" ledek Riri sambil mengerling padaku. Sehera kuhampiri Riko dan bergelayut mesra di pundaknya. 

"Aku ngumpul lagi ya sama mereka," ucapku sambil menunjuk Riri dan dani. Riko tersenyum manis. Pantas saja sebutannya cowok sejuta senyum maut. Segera kuhampiri Riri dan Dani yang bengong menikmati senyuman Riko.

"Udah dong ngeliatnya. Dia kan udah ada yang punya," ujarku dan segera beralih ke mejaku karena pak Tikno sudah ada di depan.
Rasanya puas sekali bisa membuat semua orang iri padaku. Menurutku, apa yang kupunya ini adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Di antara sahabat-sahabatku, akulah yang paling beruntung. Mempunyai orang tua yang berpikiran modern, sangat berkecukupan, dan semua mata memandangku. Apa lagi yang kurang?
***
Siang ini Riri dan Dani mendapatkan undangan spesial dariku. Nonton film sambil menikmati oleh-oleh papaku dari Singapura. Ketika masuk ke halaman rumahku, mereka sangat terheran-heran. 

"Jangan heran dulu," pikirku. Mereka belum melihat seluruhnya. Naik mobil mewah saja mungkin baru kali ini. Biasanya sih mereka naik angkot, kepanasan, kehujanan, berebutan. Duh, tak terbayang susahnya. 

"Ayo masuk!" ajakku. Riri dan Dani mengikutiku dari belakang.
"Siang Ma, ini teman-teman Ve. Yang ini namanya Dani, yang ini Riri."

"Sudah, cuci tangan dulu. Makan siangnya sudah mama siapin," kata mama.
Ayam goreng, sup, telur, cumi-cumi kesukaanku sudah tersaji di meja makan. Kurasa air liur mereka sudah tak tertahankan lagi. Lihat saja ketangkasan mereka mengambil sepotong ayam goreng. Seperti tak pernah makan ayam goreng saja. Mama sampai tersenyum melihatnya. 

Selesai makan siang aku mengajak mereka ke ruang sebelah. Kurasa ini pun pertama kalinya mereka melihat home theatre.
***
Tak terasa sudah jam empat sore. Badanku terasa capek sekali. Kulihat emak sedang mengupas bawang merah di depan dan menyiapkan bahan-bahan masakan yang akan dijual besok di warung dekat stasiun.

Melihatku, emak hanya geleng-geleng kepala. Tak biasanya aku pulang terlambat. Apalagi meninggalkan tugasku membantu emak.

"Dari mana saja kamu Dan? Emak sudah menunggu dari tadi. Kamu kok nggak pulang-pulang?" tanya emak.
"Dari perpustakaan Mak, baca-baca," jawabku kemudian menggantikannya mengupas bawang merah.

"Ke perpustakaan kok sampai sore? Apa nggak ada hari lain?" lanjutnya.
"Hm," desahku.

Hari yang melelahkan bagiku. Hampir seharian berada di perpustakaan daerah. Bukan untuk mencari buku, tapi melamun. Melamun yang berlebihan dan mengagumi rumah Ve yang sangat megah. 

Bayangan yang sangat jauh dari kehidupanku. Belum puas aku membayangkannya, perpustakaan sudah mau tutup. Dan aku harus segera pulang, teringat emak yang sudah tua memasak sendirian di dapur. Hilang sudah bayanganku jadi Ve. Jadi orang kaya, cantik, punya mobil mewah, punya pacar cakep.

Sambil mengupas bawang merah aku terus berpikir seandainya aku jadi Ve, pasti aku sudah sombong seperti bayanganku tadi siang. Lagipula bagaimana mungkin aku bisa menggantikan Ve yang sangat cantik, sederhana walaupun memiliki segalanya, pintar, dan pendiam. Seandainya aku menjadi Ve, aku pasti menjadi Ve yang lain. Sombong, angkuh, dan sok kaya. 

Untunglah aku bukan Ve. Aku tetap Dani yang harus naik angkot setiap berangkat sekolah. Aku hanya salah satu sahabat Ve. 

Tuhan memang adil. Menciptakan makhluknya berbeda-beda dan saling melengkapi seperti aku dan Ve. Dialah yang menopang biaya sekolahku. Dia sahabat terbaik yang pernah kumiliki.
"Maafkan aku Ve, aku telah membayangkan diriku menjadi dirimu."

Rabu, 29 Desember 2010

Sang TerkutukCerpen Hermawan Aksan

TIUPAN angin lirih dari
arah Hutan Saptarengga
yang membawa harum
cempaka dan kemudian
menyingkapkan kainmu,
Dinda, sehingga
memperlihatkan putih
betismu - betis terindah
di mayapada -
membuatku sekali lagi
harus mati-matian
menahan gelegak cinta.
Sepanjang hayatku, aku
mampu menghadapi
sesakti apa pun ajian
serta pusaka. Namun,
menghadapi
kecantikanmu, aku selalu
terkapar tak berdaya apa-
apa.
Derita apalagi yang lebih
berat daripada tidak bisa
mengecap cinta justru
dari kekasih yang setiap
hari mengiringi?
Oh, Putri Mandaraka,
apalah arti nyawa
dibandingkan dengan
cinta yang kudamba
sepanjang masa.
Penaklukan-
penaklukanku, boleh jadi,
menjadi sekadar darma
yang harus kujalani
sebagai seorang ksatria
yang menggenggam
berbagai pusaka. Telah
kulakoni semua kisah
yang diguratkan semesta.
Namun, mungkin tak ada
yang tahu, sepak
terjangku sesungguhnya
semata-mata
pelampiasan berahiku
yang tak pernah bisa
menemukan muara.
Kau tahu, bahkan
semenjak baru lahir ke
jagat ini, aku harus
memikul sebuah
kemustahilan. Sebagai
bayi merah, aku mesti
menghadapi Maharaja
Negeri Kiskenda,
Nagapaya yang perkasa,
yang ayahku, Kresna
Dwipayana, bahkan para
dewa, pun tak sanggup
menaklukkannya! Aku tak
tahu logika jagat raya,
tetapi aku berhasil
menjadi sang pemenang
dan kemudian
beranugerah pusaka sakti
Hrudadali, minyak tala,
dan gelar Dewanata.
Darma ksatria pulalah
tentu yang membawaku
mengikuti sayembara di
Negeri Mandura. Sebagai
calon pemegang takhta,
aku harus memiliki
wanita utama untuk
menjadi belahan jiwa.
Sayang, aku terlambat
dan putri Mandura telah
diboyong ksatria
bernama Narasoma.
Namun, untunglah
bagiku, dan malanglah
baginya, justru
kesombongannyalah
yang membuatku
memiliki kesempatan
menjadi peserta terakhir
sayembara.
"He ksatria, meski sudah
kumenangi sayembara,
aku justru menantangmu
beradu senjata," kata
ksatria Mandaraka itu.
"Kulayani tantanganmu."
Belum sepuluh jurus aku
bisa mengalahkannya
dan berhak atas putri
Mandura yang jelita. Ia
bahkan rela menyerahkan
adik perempuannya,
engkaulah Dinda, putri
yang tak kalah jelita.
Dan, kalau saja aku mau,
bisa saja aku memiliki
untukku sendiri Gendari,
putri Plasajenar yang
berparas cantik bersinar,
yang diserahkan sang
kakak Sakuni sebagai
tanda takluk setelah
mencoba merebut
engkau dan ayundamu
dari tanganku. Gendari
kuserahkan kepada
kakakku karena aku toh
merasa lebih dari cukup
memiliki engkau dan
ayundamu.
Namun darma demi
darma, pertempuran
demi pertempuran, kisah
demi kisah, membuatku
tak juga bisa memadu
cinta dengan dua putri
terkasih. Kau tahu, demi
kedigdayaan negara, aku
mesti menaklukkan
Magada, Mantili, Kasi
Sumba, Pundra, dan lain-
lain. Aku bahkan tak bisa
menolak setiap
permohonan
pertolongan. Melihat
Prabu Basudewa yang
dirongrong Gorawangsa,
misalnya, tentu aku tak
bisa melepas tangan dan
memalingkan muka. Aku
juga tak bisa berdiam diri
ketika kesucian Kaendran
diacak-acak Kalaruci.
Di tanganku, negeri ini
menjelma menjadi
rembulan yang
menyinari angkasa raya,
yang cahayanya terus
memancar sepanjang
masa. Negeri-negeri
tetangga berbondong
untuk menjalin
persahabatan yang abadi.
Rakyat aman dan
sejahtera karena tak ada
yang berani
mengganggu
ketenteraman negeri.
Namun, apalah arti
semua itu kalau aku
belum juga mengecap
setetes pun kebahagiaan
cinta? Bayangkan,
bertahun-tahun aku
harus mengekang diri
dari segala berahi,
sementara setiap malam
di sebelah kananku
berbaring ayundamu dan
di sebelah kiriku engkau,
oh, dua putri dengan
kecantikan dan
kemolekan tiada
bandingan di negeri ini,
bahkan mungkin di jagat
ini!
Semua hanya karena
kutukan yang tak pernah
bisa kupahami. Apa yang
telah kuperbuat dalam
kehidupan-kehidupanku
sebelumnya?
Bahkan jauh sebelum
lahir, aku harus
menerima kutukan hanya
karena perilaku ibuku.
Entah karena merasa
bahwa ia masih istri raja
sebelumnya, entah juga
karena merasa terlalu
jelita dibandingkan
dengan ayahku yang
memang berwajah
buruk, dengan kulit muka
yang legam dan janggut
menjalar di sepanjang
dagunya, maka ketika
sampai pada puncak
persanggamaan, wajah
ibuku memucat seperti
kapas dan berpaling
untuk menghindari wajah
sang suami.
Maka lahirlah aku dengan
wajah pucat dan kepala
tengeng - meski orang-
orang tetap menilaiku
tampan.
Dan takkan bisa
kulupakan, Dinda,
peristiwa paling terkutuk
itu, peristiwa yang
membuatku selalu
terayun-ayun di antara
penyesalan dan
kemarahan. Aku, seorang
pemburu yang tak
terlawan, yang tak
pernah gagal setidaknya
membawa pulang seekor
menjangan, hari itu tak
menjumpai satu pun
hewan di hutan yang
biasa menjadi tempat
perburuan. Sudah
kujelajahi berbagai sudut
hutan, tapi yang
kudengar hanyalah desau
angin basah di antara
dedaunan. Ke mana para
penghuninya yang
biasanya mudah
kudapatkan, meskipun
bersembunyi di setiap
gerumbul perdu atau
pepohonan?
Bahkan hingga batas
rimba, aku hanya
menemui kesunyian
yang menggiriskan.
Ya, bagaimana mungkin
di rimba Tundalaya nan
perawan, yang pekat oleh
berbagai tetumbuhan, tak
kudengar bahkan
dengung serangga dan
kelepak burung kolika?
Atau, apakah ini bagian
kisah yang tengah
dituliskan oleh si
pemegang takdir
manusia? Takdir macam
apa yang harus lebih dulu
melalui jalan peristiwa
yang tak masuk akal?
Akhirnya aku bisa
melepas nafas lega ketika
kulihat sepasang kijang
justru di batas hutan.
Yang satu tengah
masyuk mengunyah
rumput, sedangkan yang
lain mengusap-usapkan
sepasang tanduknya
yang indah ke tubuh
pasangannya.
Aku tahu, dua kijang itu
tengah menjalin kasih.
Dan sesungguhnya aku
juga tahu, tak boleh
melepaskan senjata
terhadap makhluk yang
tengah memadu asmara.
Namun, ah, dalam sekian
detik itu aku khilaf,
barangkali oleh kepenatan
dan pertanyaan yang
bergulung-gulung di
kepala.
Kurentangkan busur dan
kubidikkan anak panah,
yang kemudian melesat
membelah udara dan
menembus tepat di
tengah leher kijang
jantan, menyemburkan
darah merah di kedua
lubang lukanya.
Kubiarkan sang betina
tunggang langgang
menembus kepekatan
rimba.
Dan aku kembali
diempaskan ke belantara
kesadaran ketika sang
kijang jantan yang tengah
meregang nyawa
menatapku melalui kedua
matanya yang muram.
"Oh, raja darah Barata,
apa dosa yang telah
kulakukan sehingga tanpa
sebab kau tega
melepaskan senjata?"
katanya terbata-bata.
Aku mencoba berkilah
bahwa tak ada benar atau
salah, suci atau dosa, di
antara pemburu dan
binatang buruan.
Bukankah yang ada
adalah kekuasaan?
Pemburu punya
wewenang untuk
memburu, dan binatang
punya wewenang untuk
menghindari bahaya.
"Kenapa engkau tidak
menghindar kalau tahu
ada ancaman?"
Sang kijang membakar
dadaku dengan sorot
matanya. "Oh, Sang
Prabu yang tengah
mengumbar amarah.
Benar, apa pun isi rimba
boleh engkau buru
sesuka hati. Itu memang
anugerah yang kita
terima. Namun engkau
pasti tahu kekecualiannya,
yakni jangan kauusik
mereka yang tengah
berkasih-kasihan
membangun
perkawinan, menikmati
keindahan cinta,
mencoba meneruskan
kelangsungan semesta.
Merpati yang saling
bercumbu di dahan
perdu, bahkan kupu-
kupu yang menjalin
asmara di langit biru.
Ketahuilah, saya
Kimindama yang tak
pernah berbuat dosa.
Karena itu, apa yang saya
ucapkan niscaya akan
menjelma nyata: mulai
hari ini, engkau tak dapat
memperoleh kemuliaan
cinta. Ajalmu akan datang
setiap kali engkau
berhasrat meraih
keindahan asmara."
Aku menjerit
mengungkapkan sesal
yang menggumpal.
Namun sang Kimindama
telanjur muksa, dan
kutukan itu harus kupikul
detik itu juga. Selamanya.
Dinda, meski terlampau
berat, mungkin
sebenarnya aku masih
akan sanggup
menyandang kutukan ini.
Bukankah aku bisa
mengheningkan batin
melalui tapa di berbagai
sudut gunung yang
sunyi? Di keheningan
seperti itu, aku bisa
memuja Sang Pemilik
Semesta, seraya
berharap bisa lepas dari
kutuk Kimindama.
Namun kau pasti bisa
merasakan, betapa
hancur hatiku - meski
atas nama takdir
sekalipun - bila
mengingat ayundamu,
melalui Ajian
Adityaredaya-nya, tiga
kali bercumbu dengan
tiga dewa berbeda, Batara
Darma, Batara Bayu, dan
Batara Indra, yang
memberinya Puntadewa,
Wrekodara, dan Janaka.
Oh, Dinda, bukan hanya
tiga kali, melainkan
empat. Bukankah
sebelum menjadi
permaisuriku, tatkala
masih menjadi bunga di
Negeri Mandura,
ayundamu pernah
menjalin asmara dengan
Batara Surya, yang
membuahkan putra
bernama Aradeya - yang
untuk menghilangkan
nista dan menjaga
lambang kesuciannya
terpaksa melahirkan
melalui telinga?
Dan kemudian, aku pun
harus menutup mata dan
mengunci lubang telinga
ketika kau, wanita yang
begitu kudamba, entah
demi memenuhi guratan
takdir entah ada alasan
lain, juga melalui Mantra
Adityaredaya yang
dibisikkan ayundamu,
memadu kasih dengan
sang dewa kembar,
Batara Aswin, yang
kemudian memberimu
putra kembar Nakula dan
Sadewa.
Lengkap sudah kepedihan
hati ini.
Memang benar, kalau
tidak begitu, aku tak akan
pernah punya keturunan.
Kehampaan hati seperti
apa yang bisa
mengalahkan kehampaan
hati seorang ksatria yang
tak punya siapa pun yang
akan diwarisi segalanya?
Siapa yang akan
melanjutkan trah Barata
demi kejayaan
Hastinapura?
Namun, aku hanyalah
manusia biasa, yang
belum juga memahami
mengapa takdirku tak
lebih dari kutukan demi
kutukan belaka.
***
Dinda, lihatlah lebah-lebah
yang mencari madu
mengerumuni bunga
asoka, dengarlah kicau
sepasang murai yang
bersahut-sahutan di
dahan-dahan pohon
parijatha, dan ciumlah
wangi teratai yang
sedang mengembang di
permukaan telaga.
Semua itu sungguh
membuat wajahmu kian
jelita.
Dan ah, embusan angin
yang harum itu lagi-lagi
menyibakkan kainmu,
memperlihatkan betismu
yang bercahaya,
menjadikan keindahan itu
makin sempurna.
Marilah, Dinda, jangan
ragu, aku sudah
memutuskan, aku rela
melepas nyawa dan
segala kemewahan dunia
demi setetes keindahan
cinta

KUTUNGGU DATANGMUPUKUL TUJUHGalang Lufityanto

Pukul Tujuh.
Dia pasti sudah ada di
sana menungguku
dengan senyumnya yang
semanis kopi.
Menawarkan pembuka di
pagi yang indah ini.
Kusadari tanpa dia
mungkin pagi-pagiku tak
akan ada artinya.
Kupercepat langkahku.
Tertatih-tatih memanggul
bakul di punggung, juga
tas plastik di tangan.
Berat, namun kuacuhkan.
Kain jarit yang kukenakan
berkelisut dalam langkah
gelisahku. Kuburu waktu.
Meski kaki tuaku yang
selalu jadi tumbalnya.
Namun aku mengeluh
pun tidak. Demi sebuah
awal pagi yang indah.
Dia ada di sana.
Mengenakan seragam
biru-putih yang rapi habis
diseterika. Duduk di
pinggir trotoar. Dekat
tiang rambu lalu lintas,
disandarkan tubuhnya.
Kepalanya menunduk.
Setengah menekuri
sepatu kain bututnya
yang sudah sobek sedikit
di bagian depan �aku
tahu karena bagian itu
bagiku sangat mencolok.
Kepalanya seketika
menoleh.
� Nenek!� Ujarnya girang.
Aku menghampirinya
dengan tak kalah bahagia.
Ketika kuberhenti, baru
kusadari beban di
punggung ternyata
begitu beratnya.
Selalu.�Sudah nunggu
lama ya?�
Anak itu menggeleng.
Diciumnya tanganku.
Takzim. �Nak Adi belum
telat sekolahnya?� Aku
melangkahkan kaki
menginjak aspal,
dibimbing olehnya.
Rambutku tersibak angin
laju mobil yang melintas
di depanku.
�Ah.., biasanya guru
juga telat datang lima
belas menitan. Lagian kan
cuma
tinggal nyeberang. �
Sekolah Adi memang
hanya berada di seberang
jalan ini. Dan jarak
beberapa meter di
sebelahnya ada pasar
tempatku biasa
menjajakan dagangan.
� Maaf ya Nak Adi, kalau
nenek selalu merepotkan.
Nenek takut
menyeberang. � Aku
mencekal lengan Adi erat-
erat. Ia menoleh dan
tersenyum. Kami berada
beberapa meter dari
trotoar. Terkurung dalam
laju mobil-motor yang
terburu-buru. Bus kota
yang tak henti-hentinya
membunyikan klakson.
Rasanya seperti ingin
memejamkan mata.
Ngeri. Motor dan mobil
lalu lalang. Seakan-akan
ingin menabrak atau
melindasku. Ketakutanku
beralasan. Karena
meskipun saat ini aku dan
Adi tengah
menyeberang, tak
satupun dari mereka
yang mengurangi
kecepatannya. Mereka
hanya berkelit
menghindar. Tak jarang
hanya menyisakan ruang
yang teramat sempit.
Desir angin laju
kendaraan yang
menyapu kulit tanganku
membuatku merinding.
Itulah pagi hariku, saat
aku berpikir bisa mati
sewaktu-waktu tertabrak
kendaraan yang menggila
di jalanan.Wess!! Bakulku
sedikit tersambar setang
sepeda yang melintas di
belakangku. Aku menjerit
tertahan. Pengemudi itu
bukannya minta maaf,
eeh � malah mencaci
maki, dengan tanpa
mengurangi
kecepatannya pergi
menjauh.
� Wong edan!!� Umpatku
jengkel. Jantungku
hampir copot
dibuatnya. �Nenek nggak
apa-apa?� Adi
bertanya.Aku
menggeleng. �Pelan-
pelan aja ya, Nak!� Dan
kami meneruskan
berjalan.
� Sudah sampai, Nek!�
Masih saja belum
sembuh dari rasa
keterkejutanku atas
peristiwa tadi. Aku
menepuk-nepuk dadaku
sambil batuk-batuk.
�Duuh nenek ini sudah
tua. Tapi masih saja
sering dikurang ajari.�
Aku melihat ke arah jalan
tempat pengemudi
sepeda tadi kemudian
menghilang. �Orang-
orang sekarang memang
sudah tidak bisa diajari
sopan santun. Coba kalau
semua orang seperti Nak
Adi! �
Adi mengusap-usap
tengkuknya. �Ah�, saya
juga cuma hanya bisa
ini. � �Tapi itu mulia. Lha
kalau nggak ada Nak Adi,
bagaimana nenek bisa
menyeberang jalan setiap
hari? Cuma sedikit orang
yang peduli. Ya �, seperti
Nak Adi ini salah satunya.
Ibu Nak Adi pasti bangga
punya anak hebat. � �Ah
Nenek.., bisa aja!� Muka
Adi memerah. Sementara
itu terdengar suara
gerbang sekolah
didorong. �Eh Nek�,
gerbang hampir ditutup!
Adi masuk dulu ya! � Adi
mencium tanganku
kembali, lalu bersiap pergi.
Aku melambaikan
tangan. �Eeh.., tunggu
dulu! Ini nenek bawakan
jajanan buat Nak Adi. �
�Oh ya, apa Nek?� Mata
Adi membulat.
� Kue onde-onde. Nak Adi
suka kan?�
�Waah�, suka banget!�
Adi menerima
pemberianku. �Terima
kasih!�
�Besok minta dibawain
apa lagi?�
�Apa saja deh, Nek! Yuk
duluan Nek! Sampai
besok pukul tujuh! �
Tubuh kecil itu
menghilang di balik pagar
besi sekolah.
Dan akupun meneruskan
pergi menuju ke pasar
yang hanya berjarak
beberapa langkah kaki
lagi. Aneh. Aku selalu
terlambat menyadari
bahwa bakulku ini terasa
berat. Dan selalu terasa
berat setelah aku
ditinggalkan olehnya
******
Pukul tujuh tepat.
Dan seperti pagi-pagi
biasanya ia menungguku
di trotoar, tempat yang
sama. Senyumnya itu
yang membuatku tidak
dapat mengelakkan
keberadaannya. Adi, anak
SMP yang baru beberapa
minggu lalu
menemukanku dalam
keadaan
kebingungan.�Mau
nyeberang jalan, Nek?
� Aku menatapnya
sekilas. Sedikit takjub ada
yang menewari bantuan.
Maksudku, di antara
puluhan orang yang tidak
peduli kutemui pagi ini,
ada seorang anak kecil
yang menawariku
bantuan. Aneh. Namun
menyenangkan bila itu
benar terjadi.
Ia mungkin menangkap
kebingunganku,
melihatku hanya mondar-
mandir di sepanjang
trotoar. Menanti jalanan
sepi. Atau bagaimana
caranya entah menjadi
sepi. Apakah dengan
tongkat nabi Musa yang
kusabetkan hingga
terbelah jalan yang penuh
kendaraan lalu lalang ini,
dan tercipta ruang
kosong yang cukup bagi
perempuan renta bagiku
untuk lewat? �Nek!� Aku
terjingkat. Dan ketika
sadar aku sudah berada
di tengah jalan. Dan
ketakutanku melanda lagi.
Kueratkan cekalan pada
lengan Adi. Tadi sewaktu
melamun, aku merasa
jauh dari rasa panik.
Mungkin lebih baik
melamun. Tapi tentunya
tidak mungkin kulakukan
tanpa ada Adi yang
memapahku sampai ke
seberang jalan.
Aku menatap ke depan.
Dan punggung Nak Adi
tampak begitu bersinar.
Seperti malaikat. Ia telah
memberikan sayap
padaku. Juga matahari
yang tak begitu tinggi.
Karena aku tidak pernah
kehilangan pagi.
************
Pukul tujuh lebih
seperempat.
Aku mengambil jam
bandul kunoku dari
dalam balutan stagen di
pinggangku. Hanya untuk
meyakinkan diriku,
bahwa waktu telah lewat
beberapa menit sejak
pukul tujuh. Dan
keanehan kurasakan. Nak
Adi tidak ada di tempat
biasanya.
Kemudian aku duduk di
trotoar yang sama
dengan tempat Adi
duduk. Dingin. Namun
hangat di dalam hati.
Kusandarkan tubuhku ke
tiang rambu lalu lintas.
Ah itu dia! Pekikku dalam
hati girang. Sosok Nak
Adi terlihat di kejauhan,
muncul dari balik barisan
orang yang berjalan dari
arah barat. Ia menuju ke
arahku.
Hei! Benarkah yang
kulihat itu? Ada yang
berbeda dari
penampilannya. Aku baru
menyadarinya ketika ia
mulai mendekat. Mataku
yang meski lamur masih
bisa menangkap gaya
rambut Nak Adi yang
berbeda. Rambut belah
tengahnya berganti
menjadi jegrak-jegrak
� naik ke atas. Aku tidak
tahu bagaimana caranya
membuat rambutnya
tegak ke atas. Seakan-
akan direkatkan dengan
lem.
Kacamata yang biasa
dikenakannya pun entah
kemana. Dan sebagai
gantinya matanya kini
berwarna biru seperti
orang barat. Sepertinya ia
mengecat bola matanya
dengan kuteks warna
biru, atau apa aku tidak
tahu.
� Pagi Nak Adi! Ehm�.�
Aku tidak bisa
meneruskan ucapanku.
Masih takjub dengan
penampilannya yang
ajaib.
� Ayo, Nek!� Suaranya
padat, tidak nyaring
seperti biasanya.
Digamitnya tanganku. Ia
benar-benar seperti
orang lain. Juga
langkahnya yang terburu-
buru membuatku terseret
mengikutinya. Aku
hendak protes, namun
ternyata akhirya aku lebih
memilih diam.
Perasaan apa ini? Takut?
�En� entah
ba�bagaimana kalau tidak
ada Nak Adi!� Aku
mencoba untuk
memancing. Tapi
ternyata kailku tak
sampai. Ia sama sekali
tidak bereaksi dengan
ucapanku.
�Nak Adi!�
Ia menoleh. Mukanya
tampak terusik. Tapi tak
lama kemudian ia
melemparkan senyum.
Yang tak tulus.
Meninggalkan gema di
batinku.
Apa yang terjadi?
Kami sampai di seberang
jalan. Dan seperti biasa,
kehidupanku dimulai dari
seberang jalan ini. Aku
mengipas-ngipaskan kain
jarikku setelah tadi
sebuah bus
mengentutkan asap
knalpot tebal di
hadapanku.
Aku mendongakkan
kepala, dalam posisi
badan masih
membungkuk. �Nak Adi ,
nenek bawakan�.� Aku
terdiam. Ternganga.
Nak Adi sudah tidak ada
di sampingku.
********
Keesokan paginya hal
yang aneh terulang lagi.
Rambut Nak Adi masih
sama seperti yang
kemarin. Kupikir-pikir
rambutnya mirip si
Cecep, tokoh salah satu
sinetron di teve. Bedanya
jika Cecep hanya tiga atau
empat bagian yang
dibuat berdiri, Nak Adi
semuanya.
Dia menolak
pemberianku. Dan kue
molen itu teronggok di
tanganku.
�Lalu Nak Adi makan apa
nanti?� Tanyaku lirih.
Sembari
menyembunyikan tanda
tanya besar di hati, juga
resah yang menggelayut.
� Ini!� Adi mengeluarkan
sesuatu dari dalam
tasnya. Aku tahu itu
coklat. Meski tidak bisa
membaca mereknya.
Aku menunduk. Dan
baru kusadari ternyata
sepatu yang dikenakan
Adi pun telah berganti.
Sepatunya kini berwarna
warni, dan kelihatan
meriah.
� Nak Adi sepatunya baru
ya�.� Ucapanku ini lebih
terdengar seperti
gumaman.
� Iya!� Ujarnya
bersemangat. �Bagus,
kan? Ini sedang mode lho!
� Dibolak-balikkan
kakinya.
Aku perlahan
mengangkat kepalaku.
Nak Adi yang ada di
hadapanku seperti bukan
Nak Adi yang biasanya.
Sedikit demi sedikit aku
merasa kehilangannya.
********
Pukul tujuh lebih tiga
puluh menit dan aku
benar-benar
kehilangannya.
Ku duduk di tepi trotoar
sembari menyelonjorkan
kaki. Rambut putihku
berkibar terkena arus
angin laju kendaraan. Dan
dinginnya pagi ini
bertambah dingin.
Menjadi beku ketika yang
kutunggu tak juga datang.
Tiba-tiba seorang lelaki
ajaib yang baik hati �aku
selalu mengira orang baik
di jaman sekarang ini
adalah keajaiban � datang
dan menawarkan
bantuannya untuk
menyeberang.
Aku menggelengkan
kepala.
� Terima kasih Nak! Saya
sedang menunggu cucu
saya. Sebentar lagi ia
datang. �
Lelaki berbaju kotak-kotak
itu mengangguk paham.
Dan ia kemudian
menyeberang jalan.
Kutatapi punggungnya
yang bersinar membelah
keramaian jalan.
Punggung yang
mengecil, dan kemudian
menjadi sebagian kecil.
Dan menghilang.
Dan seperti itulah Nak
Adi, yang semakin lama
semakin menjauh.
Nak Adi.., dimanakah
kamu?
********
Hari ini aku sengaja
berangkat lebih pagi.
Paling tidak aku berpikir
jalanan lebih sepi di awal
pagi. Berjalan meniti
trotoar. Terseok-seok di
antara arus pejalan kaki.
Selalu orang di
belakangku mengeluh
karena jalanku terlalu
pelan dan menghambat
jalannya. Atau bakulku
yang terlalu besar dan
menghalangi
pandangannya.
Aku tidak bisa
menyalahkan kaki tuaku.
Tidak mugkin rasanya
menyalahkan pemberian
Gusti Allah. Dengan kaki
yang sama tubuhku telah
ditopang selama
berpuluh-puluh tahun
lamanya. Dan bukan
alasan yang tepat untuk
kemudian memprotes
agar kakiku dijadikan
muda kembali. Memang
kakiku yang sekarang
sudah peyot dan
berkerut-kerut. Tapi
memang semua benda
memiliki umur. Jika
sudah tua, memangnya
mau diapakan lagi?
Kakiku menginjak trotoar
yang menyisakan penuh
kenangan. Berdiri di sini
� tanganku memegangi
tiang rambu lalu lintas�
ingatanku kembali ke Nak
Adi. Sungguh biarpun
waktu sesungguhnya
telah mengijinkanku
untuk melupakannya,
namun tak bisa
kulakukan.
Tidak ada rasa peyesalan.
Juga marah. Yang ada
hanya kenangan. Juga
perasaan rindu. Karena ia
adalah malaikat yang
dititipkan padaku.
Sudah beberapa minggu
aku tidak bertemu Nak
Adi . Kira-kira sedang apa
ya ia sekarang? Seorang
anak laki-laki datang,
berpakaian biru putih
dengan gaya rambut
belah tengah. Langkah-
langkah itu adalah
langkah yang kukenal.
� Nak Adi!� Jeritku
senang. Bakulku sampai
terlonjak saking
bersemangatnya.
� Ya, ada apa Nek?�
Kening anak itu berkerut
heran.Senyumku raib.
Salah orang rupanya.
Wajah Adi hilang
digantikan wajah seorang
anak yang lain. Jadi
rupanya hanya
perasaanku saja.Mungkin
aku terlalu rindu ya?
Sehingga semua orang
terlihat seperti Nak Adi.
Akhirnya kukuatkan
hatiku, bahwa hari ini aku
mungkin tidak dapat
bertemu Nak Adi. Tapi
masih ada besok. Aku
tersenyum. Harapan
demi harapan kurajut.
Semuanya menjadikan
alasan untukku tetap
bertahan hidup. Pukul
tujuh, janjiku bertemu
dengan Nak Adi. Dan
akan selalu kuingat. Aku
yang tua renta dan
seorang diri �tanpa
suami, keluarga maupun
sanak saudara �
bagaimanapun juga tak
punya hal-hal besar yang
pantas kukenang.
Kulangkahkan kaki turun
ke aspal. Rasanya seperti
meloncat ke dalam
neraka. Meski sebenarnya
jalan tidak terlalu ramai
seperti biasanya.
Kendaraan tidak sepadat
biasanya. Tapi tetap saja
mereka melaju dengan
kecepatan gila-gilaan. Aku
menoleh ke belakang,
barangkali ada orang
yang hendak
menyeberang pula dan
aku bisa ikut serta.
Tapi naas bagiku. Tidak
ada. Selangkah demi
selangkah. Ujung jalan di
depanku hanya beberapa
meter jaraknya dari
tempatku berdiri
sekarang. Tapi terasa
jauh. Pelan tapi pasti,
kakiku merayap.
Satu langkah lagi aku
maju. Saat itu aku sudah
mulai berani. Namun
itupun seketika pupus
demi melihat sebuah
mobil pick-up datang dari
arah sampingku. Jauh
namun datang mendekat
dengan cepatnya.
Melihatku ia sama sekali
tidak memelankan
lajunya. Refleks aku
mundur ke belakang
beberapa langkah, dan�.
�Woi�.,hati-hati!� Sebuah
sepeda motor di
belakangku hampir
menabrakku yang
sedang berjalan mundur.
Aku tidak melihatnya
berkelit dan melewati
ruang sisa di belakang
tubuhku.
Ingin menangis rasanya.
Kepalaku pening. Dalam
waktu yang teramat
singkat ini aku teringat
Adi. Dan semi segala pilu
aku berdoa agar
dipertemukan
dengannya. Yang selalu
melindungiku.
Memberikanku sayap
untuk tetap bertahan
hidup.
Sebuah motor datang
dari arah kejauhan. Aku
letih, menatap motor itu
akan melintas beberapa
meter saja dari
hadapanku. Angin
menerpa rambut
pengendara motor.
Tersibak ke belakang, dan
aku terkejut bercampur
bahagia. Ini bukan
khayalanku semata kan?
� Nak Adi!!� Aku
menghambur senang.
Berlari ke depan.
Menyambutnya dengan
bentangan tangan yang
paling lebar. Dengan
senyum yang paling
indah dari hati yang
sebenarnya telah banyak
tersakiti.
� Nenek awass!!�
Suara itu. Oh�, begitu
kurindu! Kali ini aku tak
mungkin salah.
Aku menatapnya
mendekat kepadaku
dengan penuh kerinduan.
� Awas Adi!� Suara
seorang perempuan
yang berada di atas
boncengan Adi.
Ciiiit!!!! Suara rem
melengking. Disusul
terdengar suara
tubrukan. Tak cukup
jarak untuk membuat
sebuah tragedi terelakkan.
Orang-orang berlarian
mendekat. Lamur aku
menatap wajah Nak Adi
di antara beberapa wajah
asing yang
mengerumuniku. Bakulku
meloncat entah kemana.
Badanku terasa ringan.
Lebih ringan daripada
biasanya. Adakah
perasaan bahagia
membuatku serasa
ringan seperti angin?
Aku tersenyum. Tidak
menyesal atas suatu
apapun. Aku telah
bertemu dengan Nak Adi,
dan itu cukup sudah.
Kututup mata ini dengan
perasaan damai.
Pagi ini, pukul tujuh.

Perempuan LangitCerpen Saroni Asikin

AKU belum merelakanmu
pergi malam ini,
Perempuan. Aku tahu
kau akan kembali ke langit
pada saat bulan gerhana
dan orang-orang
kampung menabuhi
segala logam dan besi.
Ahai, begitu memang
kesepakatan yang kita
buat, Perempuan Langit.
Tapi tidak malam ini!
Tidak gerhana bulan ini
kali! Aku berhak
memaksamu tetap
tinggal. Serumah dan
seranjang bersamaku
terus. Seperti telah sekian
purnama kita lewati.
Bersekasih. Aku sudah
telanjur jatuh cinta
kepadamu. Kau pergi aku
merana. Aku mati.
Aku tahu kau juga
menikmati saat-saat kita
bercintaan. Mau bukti?
Rayuanku selalu
membuat matamu yang
selalu berkejap-kejap.
Syahwatmu pun begitu
menggelora. Seperti
gelombang. Atau
buncahan lahar. Deru
kuda binal. Sering
membuatku terlempar
dan terkapar seperti ikan
di pasir panas. Jangan
kau pungkiri, Puan! Kau
tak bisa pergi selagi
masih bisa kaunikmati
kebersamaan kita. Selagi
sebenarnya hatimu pun
bisa tersentuh oleh
pesona kelelakianku.
Aha, jangan kau bilang
makhluk langit sepertimu
tak punya hati. Bolehlah
kau tak tercipta dari
daging serupa dagingku
darah serupa darahku.
Tapi kau datang persis
seperti semua
perempuan yang pernah
bercinta denganku.
Perempuan dari daging
serupa dagingku dan
darah serupa darahku.
Ingat bagaimana kukuku
menggores lengan kirimu
ketika kita bercinta suatu
malam? Ada tetes darah.
Hop! Jangan kau pungkiri
darah perawanmu setiap
habis bersetubuh. Itu
juga keistimewaanmu.
Selalu perawan. Kau
memang perawan abadi.
Dan malam ini, mana ada
orang masih tahu cara
memukul logam dan besi
ketika bulan gerhana tiba?
Bahkan mungkin mereka
tak tahu sekarang ini
bulan sedang dilahap
Sang Kala yang sakral
buatmu.
Sorry, Perempuan Langit,
terpaksa harus kuakui
betapa dulu aku telah
begitu licik
memerdayamu. Baiklah,
perlu aku ingatkan
kembali awal perjumpaan
dan kesepakatan kita.
Meskipun aku tahu kau
pasti mengingatnya.
Ya! Malam itu, sekian
purnama yang lalu, aku
tengah duduk di sebuah
bangku taman kota.
Gelisah menunggu
seorang perempuan
yang telah berkali-kali
menggodaku lewat SMS:
tunggulah aku di taman
kota, kekasih. Tak perlu
kusebut namanya. Sedikit
saja kuberi tahu, dia
selalu memakai anting-
anting panjang yang lebih
sering kuumpati dengan
sebutan ''si panjang
kuping''.
Perempuan itu memang
telah kurang ajar
mengganggu kesukaanku
minum dan menikmati
Top's 40 di sebuah pub.
Aku sudah diamuk
mabuk beberapa gelas
Cassanova ketika
ponselku mengerik. Itu
SMS ketujuhbelas kukira,
sejak aku mulai masuk
pub, dalam kalimat yang
sama. Tak tahu kenapa
aku bangkit dari kursi dan
menuju taman kota.
Padahal aku telah request
lagu ''Asereje''. Kau tak
pernah tahu hatiku selalu
berdebur-debur karena
membayangkan bisa
bercinta dengan para
penyanyi Las Ketchups
itu. Dan SMS sialan itu
membuatku harus
melupakan hatiku yang
akan berdebur-debur.
Di taman itu, aku tahu si
panjang kuping pasti tak
akan datang. Aku telah
tahu tabiatnya. Dia hanya
suka menggoda. Sesekali
memang memerdayaku
seperti beludak. Sialnya,
aku pun suka menjilati
bisa dari lidahnya. Racun
dari rongga mulutnya
selalu kurasakan sangat
segar di dalam mulutku.
Bahkan ketika berciuman
dengannya, aku tak
peduli apabila kemudian
darahku tercemar racun
dan membuat busuk
jantungku.
Langit begitu cerah dalam
purnama dan mata
mabukku. Mendadak
seperti ada bagian langit
yang terbelah
membuncahkan sinar
benderang. Ya, Puan, itu
kau, turun dalam jubah
putih terselubung
benderang muncul dari
bongkahan langit itu.
Sesaat kulihat ada
kepakan sayap di
belakang punggungmu.
Belum sempat menarik
napas kau telah berada di
depanku. Tapi aku tidak
terkejut. Bahkan aku
segera mengamati
telingamu. Tak kujumpai
anting-anting panjang.
Siapa tahu kau jelmaan
perempuan iseng yang
memang sedang
kutunggu itu.
Bukan, perempuan iseng
itu tidak bersayap
sepertimu. Aha, kau
datang dari bongkahan
langit dalam jubah putih
berselubung benderang
dengan dua sayap di
punggungmu, maka
pasti kau malaikat
perempuan cantik.
Setahuku makhluk seperti
itu malaikat. Kau
memandangiku takut-
takut. Kita saling
bergeming. Tanpa kata-
kata. Lalu pikiranku
melesat ke sebuah cerita:
Nawangwulan. Ah, ya,
kau bidadari, pasti itu!
Dan pasti kau tersesat!
Begitu saja lalu kutawari
kau untuk tinggal
bersamaku. Ide gila yang
mendadak muncul dan
gilanya kau tak bisa
mengatakan ''tidak''.
Tapi rupanya kau ingin
bikin kesepakatan. Kau
bilang ketika itu,
''Bolehlah! Aku bisa
tinggal bersamamu asal
aku boleh kembali pada
saat bulan gerhana dan
orang menabuhi logam
dan besi. Karena pada
saat itu, ada bagian langit
yang terbongkah dan aku
bisa kembali lewat situ.''
Aku tentu saja setuju.
Kusebut kau Perempuan
Langit. Kelicikanku sudah
kumulai ketika itu. Aku
terima syaratmu. Aku
tahu, aku akan
memilikimu selamanya.
Tak akan ada lagi orang
menabuhi segala logam
dan besi pengusir bulan
gerhana, sayang... Cerita
dari negerimu mengenai
kebiasaan orang di
bumiku yang menabuhi
segala logam dan besi
sembari menyerukan
nama Batara Kala itu telah
usang. Kau seolah-olah
memang datang dari
sejarah silam. Bumi telah
banyak berubah, Kekasih.
Ataukah memang
sebenarnya di negerimu
tak ada gerak, tak ada
waktu yang berputar
karena si Kala Anak Jadah
Siwa-Durga itu telah jadi
patung?
Sudah kuingatkan,
bukan? Dan masih berniat
pergi? Itu berarti kau
mengingkari kesepakatan
kita. Makhluk langit
macam apa yang khianat
pada janjinya? Sekali lagi,
ya sekali lagi, tak ada
orang menabuhi logam
dan besi pengusir
gerhana, sayang... Itu
berarti kemenangan
buatku, bukan?
Kemenangan seorang
pecinta yang kuakui
berawal dari kelicikan dan
kejengkelan menunggu
perempuan iseng
beranting-anting
panjang....
***
PEREMPUAN Langit itu
menderukan tangis di
bibir ranjang. Aku benci
perempuan yang
cengeng. Muncul
isengku. Kuambil kedua
sayapnya yang sekian
purnama kusimpan di
almari. Itu juga bagian
kelicikanku. Pada saat dia
bersedih karena tak
mungkin bisa kembali ke
langit, aku malah
menggodanya. Lelaki
pecinta macam apa aku?
Shit! Boleh jadi aku bukan
orang yang mencintai
perempuan itu. Aku
cuma orang yang
posesif. Aku hanya ingin
menguasai dia. Merasa
bangga memiliki
seutuhnya seorang
bidadari dari langit.
''Ini kedua sayapmu!
Kalau mau pergi, pergi
saja, Perempuan Langit
laknat! Kau pikir lelaki bisa
menderita hanya karena
rasa cintanya
tersebratkan? Kau keliru,
Makhluk Langit keparat!
Pergi saja!''
Itu mulutku! Mulut licik
yang mungkin telah
teracuni bisa ular beludak
yang seolah-olah terjulur
dari lidah perempuan
beranting-anting panjang
itu. Padahal, ketika
mulutku mengumpat
dalam bahasa cabul itu,
ada tusukan di hatiku.
Pada hakikatnya, aku
sungguh mencintainya
dan akan merana bila dia
jadi kembali ke langitnya.
Tapi tak mungkinkah
pecinta tak bisa meliciki
yang dicintai?
Dia makin menderukan
tangis. Aku bertambah
benci. Serupa
kebencianku ketika
mendengar lagu cabul
penyanyi dangdut
murahan. Amarahku
mendadak lahir.
''Aku bisa membuatmu
mati kalau aku mau.
Sayapmu akan kulempar
ke tungku. Kau pernah
membuka rahasiamu
tentang itu. Ingat kau?
Kau bilang kau akan mati
kalau sayapmu kubakar.
Tapi tidak, Puan! Cintaku
padamu sejauh negeri
langitmu yang entah itu.
Tak mungkin kulakukan
itu. Sebab, aku pun akan
merana dan mungkin
mati juga.''
Maka kulempar saja
kedua sayap ke
mukanya. Tangisnya
semakin menderu.
Kebencianku semakin
menggubal. Ingin
kupukul kepalanya atau
kutampar saja pipinya
atau kubekap mulutnya.
Tak mungkin itu! Seorang
pecinta sejati tak mungkin
menyakiti orang yang
dicintai, selicik dan
sebeludak apa pun aku
yang telah sekian lama
minum dari bisa
perempuan beranting-
anting panjang itu.
''Pergilah! Kau tak perlu
memikirkan kesepakatan
kita. Atau, kau ingin aku
menabuhi logam dan
besi?''
Aku berlari ke dapur.
Dengan marah kutabuhi
apa saja yang kujumpai:
wajan, panci, kompor...
Lalu berlari keluar dan
menjumpai gerhana
bulan telah selesai.
Kutinggalkan Perempuan
Langit yang masih
menderukan tangis. Aku
tak ingin kembali ke
rumahku. Semoga pub
masih buka saat itu dan
aku bisa menenggak
Cassanova. Syukurlah
apabila perempuan
beranting-anting panjang
itu benar-benar ada di
sana dan itu berarti aku
akan mereguk
kenikmatan racun-
bisanya yang telah sekian
purnama tak lagi
mengharu-biru aku.
***
DIA memang ada di pub
itu. Dia tengah menyanyi
ketika aku memesan
Cassanova. Sekilas
matanya licik mengerling
padaku ketika mulutnya
menggumamkan ''Cry
me a River''. Tak jelek
suaranya. Meskipun tentu
saja tak sebagus Diana
Krall. Kutenggak gelas
pertamaku. Mendadak
ada gairah meletup-letup.
Pasti seusai lagu itu dia
akan melantunkan
''Besame Mucho''.
Ciumlah, ya ciumlah aku
sebanyak-banyaknya,
selalu, setiap saat, pasti
itu yang dia kehendaki!
Aku tersenyum pahit.
Kembali terbayang lidah
penuh bisa itu menjilati
rongga mulut dan bertaut
lama dengan lidahku. Ah,
akhirnya aku harus
kembali padanya karena
Perempuan Langit itu
mungkin saat ini sudah
terbang kembali ke
negerinya.
Persetan! Aku ingin
Cassanova ini cukup
membuatku melupakan
perempuan yang kali
pertama kujumpai dalam
jubah putih
berselubungkan
benderang. Kutenggak
gelas kedua. Kutuang lagi.
Gelas ketiga. Keempat.
Kelima dan ingin beranjak
ke panggung ketika
akhirnya ''Besame
Mucho'' keluar juga dari
mulutnya. Lidahnya
menjulur ke arahku
sembari bernyanyi. Tapi
aku sudah mabuk dan
mungkin aku tertidur
cukup lama di meja pub
itu.
***
REKAH subuh 800 tahun
kemudian, aku
terbangun. Aku pulang ke
rumahku. Istriku tengah
menyeterika bajuku ketika
kubuka pintu. Ia terbiasa
melakukan itu sembari
menyiapkan sarapan,
selalu pagi-pagi buta.
Tergopoh-gopoh dia
menyambutku dengan
manja. ''Dari mana saja
kamu, Sayang? Beberapa
jam ini aku
menunggumu dengan
cemas. Aku khawatir
perempuan beranting-
anting pajang itu kembali
memerdaya kamu.
Seusai kau pergi, dia
datang kemari dan
mencarimu. Kau tak lagi
menemuinya, bukan?''
Aku tak menjawab. Dia
tidak tahu, aku baru saja
kehilangan seorang
perempuan dari langit.
Beberapa saat kemudian,
aku mendengar suara
tangis dari dalam kamar.
''Siapa yang menangis di
dalam kamar?'' Istriku
terkejut dan menggeleng-
gelengkan kepala. ''Tak
ada suara tangis, kok.
Kamu mungkin terlalu
capai, Sayang...''
Tangisan itu masih
kudengar. Shit! Itu
tangisan Perempuan
Langitku! Bersigegas aku
ke kamar dan menjumpai
Perempuan Langit itu
tengah menangis
sembari memeluk kedua
sayapnya. Aku sunggu
benci tangisan. Kuhardik
dia, ''Kenapa tak jadi
pergi! Enyah saja! Cepat!''
teriakku.
Mungkin mendengar aku
berteriak-teriak, istriku
berteriak pula, ''Ada apa,
Sayang?''
Dia muncul di pintu
kamar dan seketika
kulihat wajahnya
memucat. Tiba-tiba dia
berteriak, ''Kamu kenapa?
Lo, lo, kenapa
punggungmu? Kenapa
ada sayap di
punggungmu itu?''