Entri Populer

Rabu, 29 Desember 2010

Sang TerkutukCerpen Hermawan Aksan

TIUPAN angin lirih dari
arah Hutan Saptarengga
yang membawa harum
cempaka dan kemudian
menyingkapkan kainmu,
Dinda, sehingga
memperlihatkan putih
betismu - betis terindah
di mayapada -
membuatku sekali lagi
harus mati-matian
menahan gelegak cinta.
Sepanjang hayatku, aku
mampu menghadapi
sesakti apa pun ajian
serta pusaka. Namun,
menghadapi
kecantikanmu, aku selalu
terkapar tak berdaya apa-
apa.
Derita apalagi yang lebih
berat daripada tidak bisa
mengecap cinta justru
dari kekasih yang setiap
hari mengiringi?
Oh, Putri Mandaraka,
apalah arti nyawa
dibandingkan dengan
cinta yang kudamba
sepanjang masa.
Penaklukan-
penaklukanku, boleh jadi,
menjadi sekadar darma
yang harus kujalani
sebagai seorang ksatria
yang menggenggam
berbagai pusaka. Telah
kulakoni semua kisah
yang diguratkan semesta.
Namun, mungkin tak ada
yang tahu, sepak
terjangku sesungguhnya
semata-mata
pelampiasan berahiku
yang tak pernah bisa
menemukan muara.
Kau tahu, bahkan
semenjak baru lahir ke
jagat ini, aku harus
memikul sebuah
kemustahilan. Sebagai
bayi merah, aku mesti
menghadapi Maharaja
Negeri Kiskenda,
Nagapaya yang perkasa,
yang ayahku, Kresna
Dwipayana, bahkan para
dewa, pun tak sanggup
menaklukkannya! Aku tak
tahu logika jagat raya,
tetapi aku berhasil
menjadi sang pemenang
dan kemudian
beranugerah pusaka sakti
Hrudadali, minyak tala,
dan gelar Dewanata.
Darma ksatria pulalah
tentu yang membawaku
mengikuti sayembara di
Negeri Mandura. Sebagai
calon pemegang takhta,
aku harus memiliki
wanita utama untuk
menjadi belahan jiwa.
Sayang, aku terlambat
dan putri Mandura telah
diboyong ksatria
bernama Narasoma.
Namun, untunglah
bagiku, dan malanglah
baginya, justru
kesombongannyalah
yang membuatku
memiliki kesempatan
menjadi peserta terakhir
sayembara.
"He ksatria, meski sudah
kumenangi sayembara,
aku justru menantangmu
beradu senjata," kata
ksatria Mandaraka itu.
"Kulayani tantanganmu."
Belum sepuluh jurus aku
bisa mengalahkannya
dan berhak atas putri
Mandura yang jelita. Ia
bahkan rela menyerahkan
adik perempuannya,
engkaulah Dinda, putri
yang tak kalah jelita.
Dan, kalau saja aku mau,
bisa saja aku memiliki
untukku sendiri Gendari,
putri Plasajenar yang
berparas cantik bersinar,
yang diserahkan sang
kakak Sakuni sebagai
tanda takluk setelah
mencoba merebut
engkau dan ayundamu
dari tanganku. Gendari
kuserahkan kepada
kakakku karena aku toh
merasa lebih dari cukup
memiliki engkau dan
ayundamu.
Namun darma demi
darma, pertempuran
demi pertempuran, kisah
demi kisah, membuatku
tak juga bisa memadu
cinta dengan dua putri
terkasih. Kau tahu, demi
kedigdayaan negara, aku
mesti menaklukkan
Magada, Mantili, Kasi
Sumba, Pundra, dan lain-
lain. Aku bahkan tak bisa
menolak setiap
permohonan
pertolongan. Melihat
Prabu Basudewa yang
dirongrong Gorawangsa,
misalnya, tentu aku tak
bisa melepas tangan dan
memalingkan muka. Aku
juga tak bisa berdiam diri
ketika kesucian Kaendran
diacak-acak Kalaruci.
Di tanganku, negeri ini
menjelma menjadi
rembulan yang
menyinari angkasa raya,
yang cahayanya terus
memancar sepanjang
masa. Negeri-negeri
tetangga berbondong
untuk menjalin
persahabatan yang abadi.
Rakyat aman dan
sejahtera karena tak ada
yang berani
mengganggu
ketenteraman negeri.
Namun, apalah arti
semua itu kalau aku
belum juga mengecap
setetes pun kebahagiaan
cinta? Bayangkan,
bertahun-tahun aku
harus mengekang diri
dari segala berahi,
sementara setiap malam
di sebelah kananku
berbaring ayundamu dan
di sebelah kiriku engkau,
oh, dua putri dengan
kecantikan dan
kemolekan tiada
bandingan di negeri ini,
bahkan mungkin di jagat
ini!
Semua hanya karena
kutukan yang tak pernah
bisa kupahami. Apa yang
telah kuperbuat dalam
kehidupan-kehidupanku
sebelumnya?
Bahkan jauh sebelum
lahir, aku harus
menerima kutukan hanya
karena perilaku ibuku.
Entah karena merasa
bahwa ia masih istri raja
sebelumnya, entah juga
karena merasa terlalu
jelita dibandingkan
dengan ayahku yang
memang berwajah
buruk, dengan kulit muka
yang legam dan janggut
menjalar di sepanjang
dagunya, maka ketika
sampai pada puncak
persanggamaan, wajah
ibuku memucat seperti
kapas dan berpaling
untuk menghindari wajah
sang suami.
Maka lahirlah aku dengan
wajah pucat dan kepala
tengeng - meski orang-
orang tetap menilaiku
tampan.
Dan takkan bisa
kulupakan, Dinda,
peristiwa paling terkutuk
itu, peristiwa yang
membuatku selalu
terayun-ayun di antara
penyesalan dan
kemarahan. Aku, seorang
pemburu yang tak
terlawan, yang tak
pernah gagal setidaknya
membawa pulang seekor
menjangan, hari itu tak
menjumpai satu pun
hewan di hutan yang
biasa menjadi tempat
perburuan. Sudah
kujelajahi berbagai sudut
hutan, tapi yang
kudengar hanyalah desau
angin basah di antara
dedaunan. Ke mana para
penghuninya yang
biasanya mudah
kudapatkan, meskipun
bersembunyi di setiap
gerumbul perdu atau
pepohonan?
Bahkan hingga batas
rimba, aku hanya
menemui kesunyian
yang menggiriskan.
Ya, bagaimana mungkin
di rimba Tundalaya nan
perawan, yang pekat oleh
berbagai tetumbuhan, tak
kudengar bahkan
dengung serangga dan
kelepak burung kolika?
Atau, apakah ini bagian
kisah yang tengah
dituliskan oleh si
pemegang takdir
manusia? Takdir macam
apa yang harus lebih dulu
melalui jalan peristiwa
yang tak masuk akal?
Akhirnya aku bisa
melepas nafas lega ketika
kulihat sepasang kijang
justru di batas hutan.
Yang satu tengah
masyuk mengunyah
rumput, sedangkan yang
lain mengusap-usapkan
sepasang tanduknya
yang indah ke tubuh
pasangannya.
Aku tahu, dua kijang itu
tengah menjalin kasih.
Dan sesungguhnya aku
juga tahu, tak boleh
melepaskan senjata
terhadap makhluk yang
tengah memadu asmara.
Namun, ah, dalam sekian
detik itu aku khilaf,
barangkali oleh kepenatan
dan pertanyaan yang
bergulung-gulung di
kepala.
Kurentangkan busur dan
kubidikkan anak panah,
yang kemudian melesat
membelah udara dan
menembus tepat di
tengah leher kijang
jantan, menyemburkan
darah merah di kedua
lubang lukanya.
Kubiarkan sang betina
tunggang langgang
menembus kepekatan
rimba.
Dan aku kembali
diempaskan ke belantara
kesadaran ketika sang
kijang jantan yang tengah
meregang nyawa
menatapku melalui kedua
matanya yang muram.
"Oh, raja darah Barata,
apa dosa yang telah
kulakukan sehingga tanpa
sebab kau tega
melepaskan senjata?"
katanya terbata-bata.
Aku mencoba berkilah
bahwa tak ada benar atau
salah, suci atau dosa, di
antara pemburu dan
binatang buruan.
Bukankah yang ada
adalah kekuasaan?
Pemburu punya
wewenang untuk
memburu, dan binatang
punya wewenang untuk
menghindari bahaya.
"Kenapa engkau tidak
menghindar kalau tahu
ada ancaman?"
Sang kijang membakar
dadaku dengan sorot
matanya. "Oh, Sang
Prabu yang tengah
mengumbar amarah.
Benar, apa pun isi rimba
boleh engkau buru
sesuka hati. Itu memang
anugerah yang kita
terima. Namun engkau
pasti tahu kekecualiannya,
yakni jangan kauusik
mereka yang tengah
berkasih-kasihan
membangun
perkawinan, menikmati
keindahan cinta,
mencoba meneruskan
kelangsungan semesta.
Merpati yang saling
bercumbu di dahan
perdu, bahkan kupu-
kupu yang menjalin
asmara di langit biru.
Ketahuilah, saya
Kimindama yang tak
pernah berbuat dosa.
Karena itu, apa yang saya
ucapkan niscaya akan
menjelma nyata: mulai
hari ini, engkau tak dapat
memperoleh kemuliaan
cinta. Ajalmu akan datang
setiap kali engkau
berhasrat meraih
keindahan asmara."
Aku menjerit
mengungkapkan sesal
yang menggumpal.
Namun sang Kimindama
telanjur muksa, dan
kutukan itu harus kupikul
detik itu juga. Selamanya.
Dinda, meski terlampau
berat, mungkin
sebenarnya aku masih
akan sanggup
menyandang kutukan ini.
Bukankah aku bisa
mengheningkan batin
melalui tapa di berbagai
sudut gunung yang
sunyi? Di keheningan
seperti itu, aku bisa
memuja Sang Pemilik
Semesta, seraya
berharap bisa lepas dari
kutuk Kimindama.
Namun kau pasti bisa
merasakan, betapa
hancur hatiku - meski
atas nama takdir
sekalipun - bila
mengingat ayundamu,
melalui Ajian
Adityaredaya-nya, tiga
kali bercumbu dengan
tiga dewa berbeda, Batara
Darma, Batara Bayu, dan
Batara Indra, yang
memberinya Puntadewa,
Wrekodara, dan Janaka.
Oh, Dinda, bukan hanya
tiga kali, melainkan
empat. Bukankah
sebelum menjadi
permaisuriku, tatkala
masih menjadi bunga di
Negeri Mandura,
ayundamu pernah
menjalin asmara dengan
Batara Surya, yang
membuahkan putra
bernama Aradeya - yang
untuk menghilangkan
nista dan menjaga
lambang kesuciannya
terpaksa melahirkan
melalui telinga?
Dan kemudian, aku pun
harus menutup mata dan
mengunci lubang telinga
ketika kau, wanita yang
begitu kudamba, entah
demi memenuhi guratan
takdir entah ada alasan
lain, juga melalui Mantra
Adityaredaya yang
dibisikkan ayundamu,
memadu kasih dengan
sang dewa kembar,
Batara Aswin, yang
kemudian memberimu
putra kembar Nakula dan
Sadewa.
Lengkap sudah kepedihan
hati ini.
Memang benar, kalau
tidak begitu, aku tak akan
pernah punya keturunan.
Kehampaan hati seperti
apa yang bisa
mengalahkan kehampaan
hati seorang ksatria yang
tak punya siapa pun yang
akan diwarisi segalanya?
Siapa yang akan
melanjutkan trah Barata
demi kejayaan
Hastinapura?
Namun, aku hanyalah
manusia biasa, yang
belum juga memahami
mengapa takdirku tak
lebih dari kutukan demi
kutukan belaka.
***
Dinda, lihatlah lebah-lebah
yang mencari madu
mengerumuni bunga
asoka, dengarlah kicau
sepasang murai yang
bersahut-sahutan di
dahan-dahan pohon
parijatha, dan ciumlah
wangi teratai yang
sedang mengembang di
permukaan telaga.
Semua itu sungguh
membuat wajahmu kian
jelita.
Dan ah, embusan angin
yang harum itu lagi-lagi
menyibakkan kainmu,
memperlihatkan betismu
yang bercahaya,
menjadikan keindahan itu
makin sempurna.
Marilah, Dinda, jangan
ragu, aku sudah
memutuskan, aku rela
melepas nyawa dan
segala kemewahan dunia
demi setetes keindahan
cinta

KUTUNGGU DATANGMUPUKUL TUJUHGalang Lufityanto

Pukul Tujuh.
Dia pasti sudah ada di
sana menungguku
dengan senyumnya yang
semanis kopi.
Menawarkan pembuka di
pagi yang indah ini.
Kusadari tanpa dia
mungkin pagi-pagiku tak
akan ada artinya.
Kupercepat langkahku.
Tertatih-tatih memanggul
bakul di punggung, juga
tas plastik di tangan.
Berat, namun kuacuhkan.
Kain jarit yang kukenakan
berkelisut dalam langkah
gelisahku. Kuburu waktu.
Meski kaki tuaku yang
selalu jadi tumbalnya.
Namun aku mengeluh
pun tidak. Demi sebuah
awal pagi yang indah.
Dia ada di sana.
Mengenakan seragam
biru-putih yang rapi habis
diseterika. Duduk di
pinggir trotoar. Dekat
tiang rambu lalu lintas,
disandarkan tubuhnya.
Kepalanya menunduk.
Setengah menekuri
sepatu kain bututnya
yang sudah sobek sedikit
di bagian depan �aku
tahu karena bagian itu
bagiku sangat mencolok.
Kepalanya seketika
menoleh.
� Nenek!� Ujarnya girang.
Aku menghampirinya
dengan tak kalah bahagia.
Ketika kuberhenti, baru
kusadari beban di
punggung ternyata
begitu beratnya.
Selalu.�Sudah nunggu
lama ya?�
Anak itu menggeleng.
Diciumnya tanganku.
Takzim. �Nak Adi belum
telat sekolahnya?� Aku
melangkahkan kaki
menginjak aspal,
dibimbing olehnya.
Rambutku tersibak angin
laju mobil yang melintas
di depanku.
�Ah.., biasanya guru
juga telat datang lima
belas menitan. Lagian kan
cuma
tinggal nyeberang. �
Sekolah Adi memang
hanya berada di seberang
jalan ini. Dan jarak
beberapa meter di
sebelahnya ada pasar
tempatku biasa
menjajakan dagangan.
� Maaf ya Nak Adi, kalau
nenek selalu merepotkan.
Nenek takut
menyeberang. � Aku
mencekal lengan Adi erat-
erat. Ia menoleh dan
tersenyum. Kami berada
beberapa meter dari
trotoar. Terkurung dalam
laju mobil-motor yang
terburu-buru. Bus kota
yang tak henti-hentinya
membunyikan klakson.
Rasanya seperti ingin
memejamkan mata.
Ngeri. Motor dan mobil
lalu lalang. Seakan-akan
ingin menabrak atau
melindasku. Ketakutanku
beralasan. Karena
meskipun saat ini aku dan
Adi tengah
menyeberang, tak
satupun dari mereka
yang mengurangi
kecepatannya. Mereka
hanya berkelit
menghindar. Tak jarang
hanya menyisakan ruang
yang teramat sempit.
Desir angin laju
kendaraan yang
menyapu kulit tanganku
membuatku merinding.
Itulah pagi hariku, saat
aku berpikir bisa mati
sewaktu-waktu tertabrak
kendaraan yang menggila
di jalanan.Wess!! Bakulku
sedikit tersambar setang
sepeda yang melintas di
belakangku. Aku menjerit
tertahan. Pengemudi itu
bukannya minta maaf,
eeh � malah mencaci
maki, dengan tanpa
mengurangi
kecepatannya pergi
menjauh.
� Wong edan!!� Umpatku
jengkel. Jantungku
hampir copot
dibuatnya. �Nenek nggak
apa-apa?� Adi
bertanya.Aku
menggeleng. �Pelan-
pelan aja ya, Nak!� Dan
kami meneruskan
berjalan.
� Sudah sampai, Nek!�
Masih saja belum
sembuh dari rasa
keterkejutanku atas
peristiwa tadi. Aku
menepuk-nepuk dadaku
sambil batuk-batuk.
�Duuh nenek ini sudah
tua. Tapi masih saja
sering dikurang ajari.�
Aku melihat ke arah jalan
tempat pengemudi
sepeda tadi kemudian
menghilang. �Orang-
orang sekarang memang
sudah tidak bisa diajari
sopan santun. Coba kalau
semua orang seperti Nak
Adi! �
Adi mengusap-usap
tengkuknya. �Ah�, saya
juga cuma hanya bisa
ini. � �Tapi itu mulia. Lha
kalau nggak ada Nak Adi,
bagaimana nenek bisa
menyeberang jalan setiap
hari? Cuma sedikit orang
yang peduli. Ya �, seperti
Nak Adi ini salah satunya.
Ibu Nak Adi pasti bangga
punya anak hebat. � �Ah
Nenek.., bisa aja!� Muka
Adi memerah. Sementara
itu terdengar suara
gerbang sekolah
didorong. �Eh Nek�,
gerbang hampir ditutup!
Adi masuk dulu ya! � Adi
mencium tanganku
kembali, lalu bersiap pergi.
Aku melambaikan
tangan. �Eeh.., tunggu
dulu! Ini nenek bawakan
jajanan buat Nak Adi. �
�Oh ya, apa Nek?� Mata
Adi membulat.
� Kue onde-onde. Nak Adi
suka kan?�
�Waah�, suka banget!�
Adi menerima
pemberianku. �Terima
kasih!�
�Besok minta dibawain
apa lagi?�
�Apa saja deh, Nek! Yuk
duluan Nek! Sampai
besok pukul tujuh! �
Tubuh kecil itu
menghilang di balik pagar
besi sekolah.
Dan akupun meneruskan
pergi menuju ke pasar
yang hanya berjarak
beberapa langkah kaki
lagi. Aneh. Aku selalu
terlambat menyadari
bahwa bakulku ini terasa
berat. Dan selalu terasa
berat setelah aku
ditinggalkan olehnya
******
Pukul tujuh tepat.
Dan seperti pagi-pagi
biasanya ia menungguku
di trotoar, tempat yang
sama. Senyumnya itu
yang membuatku tidak
dapat mengelakkan
keberadaannya. Adi, anak
SMP yang baru beberapa
minggu lalu
menemukanku dalam
keadaan
kebingungan.�Mau
nyeberang jalan, Nek?
� Aku menatapnya
sekilas. Sedikit takjub ada
yang menewari bantuan.
Maksudku, di antara
puluhan orang yang tidak
peduli kutemui pagi ini,
ada seorang anak kecil
yang menawariku
bantuan. Aneh. Namun
menyenangkan bila itu
benar terjadi.
Ia mungkin menangkap
kebingunganku,
melihatku hanya mondar-
mandir di sepanjang
trotoar. Menanti jalanan
sepi. Atau bagaimana
caranya entah menjadi
sepi. Apakah dengan
tongkat nabi Musa yang
kusabetkan hingga
terbelah jalan yang penuh
kendaraan lalu lalang ini,
dan tercipta ruang
kosong yang cukup bagi
perempuan renta bagiku
untuk lewat? �Nek!� Aku
terjingkat. Dan ketika
sadar aku sudah berada
di tengah jalan. Dan
ketakutanku melanda lagi.
Kueratkan cekalan pada
lengan Adi. Tadi sewaktu
melamun, aku merasa
jauh dari rasa panik.
Mungkin lebih baik
melamun. Tapi tentunya
tidak mungkin kulakukan
tanpa ada Adi yang
memapahku sampai ke
seberang jalan.
Aku menatap ke depan.
Dan punggung Nak Adi
tampak begitu bersinar.
Seperti malaikat. Ia telah
memberikan sayap
padaku. Juga matahari
yang tak begitu tinggi.
Karena aku tidak pernah
kehilangan pagi.
************
Pukul tujuh lebih
seperempat.
Aku mengambil jam
bandul kunoku dari
dalam balutan stagen di
pinggangku. Hanya untuk
meyakinkan diriku,
bahwa waktu telah lewat
beberapa menit sejak
pukul tujuh. Dan
keanehan kurasakan. Nak
Adi tidak ada di tempat
biasanya.
Kemudian aku duduk di
trotoar yang sama
dengan tempat Adi
duduk. Dingin. Namun
hangat di dalam hati.
Kusandarkan tubuhku ke
tiang rambu lalu lintas.
Ah itu dia! Pekikku dalam
hati girang. Sosok Nak
Adi terlihat di kejauhan,
muncul dari balik barisan
orang yang berjalan dari
arah barat. Ia menuju ke
arahku.
Hei! Benarkah yang
kulihat itu? Ada yang
berbeda dari
penampilannya. Aku baru
menyadarinya ketika ia
mulai mendekat. Mataku
yang meski lamur masih
bisa menangkap gaya
rambut Nak Adi yang
berbeda. Rambut belah
tengahnya berganti
menjadi jegrak-jegrak
� naik ke atas. Aku tidak
tahu bagaimana caranya
membuat rambutnya
tegak ke atas. Seakan-
akan direkatkan dengan
lem.
Kacamata yang biasa
dikenakannya pun entah
kemana. Dan sebagai
gantinya matanya kini
berwarna biru seperti
orang barat. Sepertinya ia
mengecat bola matanya
dengan kuteks warna
biru, atau apa aku tidak
tahu.
� Pagi Nak Adi! Ehm�.�
Aku tidak bisa
meneruskan ucapanku.
Masih takjub dengan
penampilannya yang
ajaib.
� Ayo, Nek!� Suaranya
padat, tidak nyaring
seperti biasanya.
Digamitnya tanganku. Ia
benar-benar seperti
orang lain. Juga
langkahnya yang terburu-
buru membuatku terseret
mengikutinya. Aku
hendak protes, namun
ternyata akhirya aku lebih
memilih diam.
Perasaan apa ini? Takut?
�En� entah
ba�bagaimana kalau tidak
ada Nak Adi!� Aku
mencoba untuk
memancing. Tapi
ternyata kailku tak
sampai. Ia sama sekali
tidak bereaksi dengan
ucapanku.
�Nak Adi!�
Ia menoleh. Mukanya
tampak terusik. Tapi tak
lama kemudian ia
melemparkan senyum.
Yang tak tulus.
Meninggalkan gema di
batinku.
Apa yang terjadi?
Kami sampai di seberang
jalan. Dan seperti biasa,
kehidupanku dimulai dari
seberang jalan ini. Aku
mengipas-ngipaskan kain
jarikku setelah tadi
sebuah bus
mengentutkan asap
knalpot tebal di
hadapanku.
Aku mendongakkan
kepala, dalam posisi
badan masih
membungkuk. �Nak Adi ,
nenek bawakan�.� Aku
terdiam. Ternganga.
Nak Adi sudah tidak ada
di sampingku.
********
Keesokan paginya hal
yang aneh terulang lagi.
Rambut Nak Adi masih
sama seperti yang
kemarin. Kupikir-pikir
rambutnya mirip si
Cecep, tokoh salah satu
sinetron di teve. Bedanya
jika Cecep hanya tiga atau
empat bagian yang
dibuat berdiri, Nak Adi
semuanya.
Dia menolak
pemberianku. Dan kue
molen itu teronggok di
tanganku.
�Lalu Nak Adi makan apa
nanti?� Tanyaku lirih.
Sembari
menyembunyikan tanda
tanya besar di hati, juga
resah yang menggelayut.
� Ini!� Adi mengeluarkan
sesuatu dari dalam
tasnya. Aku tahu itu
coklat. Meski tidak bisa
membaca mereknya.
Aku menunduk. Dan
baru kusadari ternyata
sepatu yang dikenakan
Adi pun telah berganti.
Sepatunya kini berwarna
warni, dan kelihatan
meriah.
� Nak Adi sepatunya baru
ya�.� Ucapanku ini lebih
terdengar seperti
gumaman.
� Iya!� Ujarnya
bersemangat. �Bagus,
kan? Ini sedang mode lho!
� Dibolak-balikkan
kakinya.
Aku perlahan
mengangkat kepalaku.
Nak Adi yang ada di
hadapanku seperti bukan
Nak Adi yang biasanya.
Sedikit demi sedikit aku
merasa kehilangannya.
********
Pukul tujuh lebih tiga
puluh menit dan aku
benar-benar
kehilangannya.
Ku duduk di tepi trotoar
sembari menyelonjorkan
kaki. Rambut putihku
berkibar terkena arus
angin laju kendaraan. Dan
dinginnya pagi ini
bertambah dingin.
Menjadi beku ketika yang
kutunggu tak juga datang.
Tiba-tiba seorang lelaki
ajaib yang baik hati �aku
selalu mengira orang baik
di jaman sekarang ini
adalah keajaiban � datang
dan menawarkan
bantuannya untuk
menyeberang.
Aku menggelengkan
kepala.
� Terima kasih Nak! Saya
sedang menunggu cucu
saya. Sebentar lagi ia
datang. �
Lelaki berbaju kotak-kotak
itu mengangguk paham.
Dan ia kemudian
menyeberang jalan.
Kutatapi punggungnya
yang bersinar membelah
keramaian jalan.
Punggung yang
mengecil, dan kemudian
menjadi sebagian kecil.
Dan menghilang.
Dan seperti itulah Nak
Adi, yang semakin lama
semakin menjauh.
Nak Adi.., dimanakah
kamu?
********
Hari ini aku sengaja
berangkat lebih pagi.
Paling tidak aku berpikir
jalanan lebih sepi di awal
pagi. Berjalan meniti
trotoar. Terseok-seok di
antara arus pejalan kaki.
Selalu orang di
belakangku mengeluh
karena jalanku terlalu
pelan dan menghambat
jalannya. Atau bakulku
yang terlalu besar dan
menghalangi
pandangannya.
Aku tidak bisa
menyalahkan kaki tuaku.
Tidak mugkin rasanya
menyalahkan pemberian
Gusti Allah. Dengan kaki
yang sama tubuhku telah
ditopang selama
berpuluh-puluh tahun
lamanya. Dan bukan
alasan yang tepat untuk
kemudian memprotes
agar kakiku dijadikan
muda kembali. Memang
kakiku yang sekarang
sudah peyot dan
berkerut-kerut. Tapi
memang semua benda
memiliki umur. Jika
sudah tua, memangnya
mau diapakan lagi?
Kakiku menginjak trotoar
yang menyisakan penuh
kenangan. Berdiri di sini
� tanganku memegangi
tiang rambu lalu lintas�
ingatanku kembali ke Nak
Adi. Sungguh biarpun
waktu sesungguhnya
telah mengijinkanku
untuk melupakannya,
namun tak bisa
kulakukan.
Tidak ada rasa peyesalan.
Juga marah. Yang ada
hanya kenangan. Juga
perasaan rindu. Karena ia
adalah malaikat yang
dititipkan padaku.
Sudah beberapa minggu
aku tidak bertemu Nak
Adi . Kira-kira sedang apa
ya ia sekarang? Seorang
anak laki-laki datang,
berpakaian biru putih
dengan gaya rambut
belah tengah. Langkah-
langkah itu adalah
langkah yang kukenal.
� Nak Adi!� Jeritku
senang. Bakulku sampai
terlonjak saking
bersemangatnya.
� Ya, ada apa Nek?�
Kening anak itu berkerut
heran.Senyumku raib.
Salah orang rupanya.
Wajah Adi hilang
digantikan wajah seorang
anak yang lain. Jadi
rupanya hanya
perasaanku saja.Mungkin
aku terlalu rindu ya?
Sehingga semua orang
terlihat seperti Nak Adi.
Akhirnya kukuatkan
hatiku, bahwa hari ini aku
mungkin tidak dapat
bertemu Nak Adi. Tapi
masih ada besok. Aku
tersenyum. Harapan
demi harapan kurajut.
Semuanya menjadikan
alasan untukku tetap
bertahan hidup. Pukul
tujuh, janjiku bertemu
dengan Nak Adi. Dan
akan selalu kuingat. Aku
yang tua renta dan
seorang diri �tanpa
suami, keluarga maupun
sanak saudara �
bagaimanapun juga tak
punya hal-hal besar yang
pantas kukenang.
Kulangkahkan kaki turun
ke aspal. Rasanya seperti
meloncat ke dalam
neraka. Meski sebenarnya
jalan tidak terlalu ramai
seperti biasanya.
Kendaraan tidak sepadat
biasanya. Tapi tetap saja
mereka melaju dengan
kecepatan gila-gilaan. Aku
menoleh ke belakang,
barangkali ada orang
yang hendak
menyeberang pula dan
aku bisa ikut serta.
Tapi naas bagiku. Tidak
ada. Selangkah demi
selangkah. Ujung jalan di
depanku hanya beberapa
meter jaraknya dari
tempatku berdiri
sekarang. Tapi terasa
jauh. Pelan tapi pasti,
kakiku merayap.
Satu langkah lagi aku
maju. Saat itu aku sudah
mulai berani. Namun
itupun seketika pupus
demi melihat sebuah
mobil pick-up datang dari
arah sampingku. Jauh
namun datang mendekat
dengan cepatnya.
Melihatku ia sama sekali
tidak memelankan
lajunya. Refleks aku
mundur ke belakang
beberapa langkah, dan�.
�Woi�.,hati-hati!� Sebuah
sepeda motor di
belakangku hampir
menabrakku yang
sedang berjalan mundur.
Aku tidak melihatnya
berkelit dan melewati
ruang sisa di belakang
tubuhku.
Ingin menangis rasanya.
Kepalaku pening. Dalam
waktu yang teramat
singkat ini aku teringat
Adi. Dan semi segala pilu
aku berdoa agar
dipertemukan
dengannya. Yang selalu
melindungiku.
Memberikanku sayap
untuk tetap bertahan
hidup.
Sebuah motor datang
dari arah kejauhan. Aku
letih, menatap motor itu
akan melintas beberapa
meter saja dari
hadapanku. Angin
menerpa rambut
pengendara motor.
Tersibak ke belakang, dan
aku terkejut bercampur
bahagia. Ini bukan
khayalanku semata kan?
� Nak Adi!!� Aku
menghambur senang.
Berlari ke depan.
Menyambutnya dengan
bentangan tangan yang
paling lebar. Dengan
senyum yang paling
indah dari hati yang
sebenarnya telah banyak
tersakiti.
� Nenek awass!!�
Suara itu. Oh�, begitu
kurindu! Kali ini aku tak
mungkin salah.
Aku menatapnya
mendekat kepadaku
dengan penuh kerinduan.
� Awas Adi!� Suara
seorang perempuan
yang berada di atas
boncengan Adi.
Ciiiit!!!! Suara rem
melengking. Disusul
terdengar suara
tubrukan. Tak cukup
jarak untuk membuat
sebuah tragedi terelakkan.
Orang-orang berlarian
mendekat. Lamur aku
menatap wajah Nak Adi
di antara beberapa wajah
asing yang
mengerumuniku. Bakulku
meloncat entah kemana.
Badanku terasa ringan.
Lebih ringan daripada
biasanya. Adakah
perasaan bahagia
membuatku serasa
ringan seperti angin?
Aku tersenyum. Tidak
menyesal atas suatu
apapun. Aku telah
bertemu dengan Nak Adi,
dan itu cukup sudah.
Kututup mata ini dengan
perasaan damai.
Pagi ini, pukul tujuh.

Perempuan LangitCerpen Saroni Asikin

AKU belum merelakanmu
pergi malam ini,
Perempuan. Aku tahu
kau akan kembali ke langit
pada saat bulan gerhana
dan orang-orang
kampung menabuhi
segala logam dan besi.
Ahai, begitu memang
kesepakatan yang kita
buat, Perempuan Langit.
Tapi tidak malam ini!
Tidak gerhana bulan ini
kali! Aku berhak
memaksamu tetap
tinggal. Serumah dan
seranjang bersamaku
terus. Seperti telah sekian
purnama kita lewati.
Bersekasih. Aku sudah
telanjur jatuh cinta
kepadamu. Kau pergi aku
merana. Aku mati.
Aku tahu kau juga
menikmati saat-saat kita
bercintaan. Mau bukti?
Rayuanku selalu
membuat matamu yang
selalu berkejap-kejap.
Syahwatmu pun begitu
menggelora. Seperti
gelombang. Atau
buncahan lahar. Deru
kuda binal. Sering
membuatku terlempar
dan terkapar seperti ikan
di pasir panas. Jangan
kau pungkiri, Puan! Kau
tak bisa pergi selagi
masih bisa kaunikmati
kebersamaan kita. Selagi
sebenarnya hatimu pun
bisa tersentuh oleh
pesona kelelakianku.
Aha, jangan kau bilang
makhluk langit sepertimu
tak punya hati. Bolehlah
kau tak tercipta dari
daging serupa dagingku
darah serupa darahku.
Tapi kau datang persis
seperti semua
perempuan yang pernah
bercinta denganku.
Perempuan dari daging
serupa dagingku dan
darah serupa darahku.
Ingat bagaimana kukuku
menggores lengan kirimu
ketika kita bercinta suatu
malam? Ada tetes darah.
Hop! Jangan kau pungkiri
darah perawanmu setiap
habis bersetubuh. Itu
juga keistimewaanmu.
Selalu perawan. Kau
memang perawan abadi.
Dan malam ini, mana ada
orang masih tahu cara
memukul logam dan besi
ketika bulan gerhana tiba?
Bahkan mungkin mereka
tak tahu sekarang ini
bulan sedang dilahap
Sang Kala yang sakral
buatmu.
Sorry, Perempuan Langit,
terpaksa harus kuakui
betapa dulu aku telah
begitu licik
memerdayamu. Baiklah,
perlu aku ingatkan
kembali awal perjumpaan
dan kesepakatan kita.
Meskipun aku tahu kau
pasti mengingatnya.
Ya! Malam itu, sekian
purnama yang lalu, aku
tengah duduk di sebuah
bangku taman kota.
Gelisah menunggu
seorang perempuan
yang telah berkali-kali
menggodaku lewat SMS:
tunggulah aku di taman
kota, kekasih. Tak perlu
kusebut namanya. Sedikit
saja kuberi tahu, dia
selalu memakai anting-
anting panjang yang lebih
sering kuumpati dengan
sebutan ''si panjang
kuping''.
Perempuan itu memang
telah kurang ajar
mengganggu kesukaanku
minum dan menikmati
Top's 40 di sebuah pub.
Aku sudah diamuk
mabuk beberapa gelas
Cassanova ketika
ponselku mengerik. Itu
SMS ketujuhbelas kukira,
sejak aku mulai masuk
pub, dalam kalimat yang
sama. Tak tahu kenapa
aku bangkit dari kursi dan
menuju taman kota.
Padahal aku telah request
lagu ''Asereje''. Kau tak
pernah tahu hatiku selalu
berdebur-debur karena
membayangkan bisa
bercinta dengan para
penyanyi Las Ketchups
itu. Dan SMS sialan itu
membuatku harus
melupakan hatiku yang
akan berdebur-debur.
Di taman itu, aku tahu si
panjang kuping pasti tak
akan datang. Aku telah
tahu tabiatnya. Dia hanya
suka menggoda. Sesekali
memang memerdayaku
seperti beludak. Sialnya,
aku pun suka menjilati
bisa dari lidahnya. Racun
dari rongga mulutnya
selalu kurasakan sangat
segar di dalam mulutku.
Bahkan ketika berciuman
dengannya, aku tak
peduli apabila kemudian
darahku tercemar racun
dan membuat busuk
jantungku.
Langit begitu cerah dalam
purnama dan mata
mabukku. Mendadak
seperti ada bagian langit
yang terbelah
membuncahkan sinar
benderang. Ya, Puan, itu
kau, turun dalam jubah
putih terselubung
benderang muncul dari
bongkahan langit itu.
Sesaat kulihat ada
kepakan sayap di
belakang punggungmu.
Belum sempat menarik
napas kau telah berada di
depanku. Tapi aku tidak
terkejut. Bahkan aku
segera mengamati
telingamu. Tak kujumpai
anting-anting panjang.
Siapa tahu kau jelmaan
perempuan iseng yang
memang sedang
kutunggu itu.
Bukan, perempuan iseng
itu tidak bersayap
sepertimu. Aha, kau
datang dari bongkahan
langit dalam jubah putih
berselubung benderang
dengan dua sayap di
punggungmu, maka
pasti kau malaikat
perempuan cantik.
Setahuku makhluk seperti
itu malaikat. Kau
memandangiku takut-
takut. Kita saling
bergeming. Tanpa kata-
kata. Lalu pikiranku
melesat ke sebuah cerita:
Nawangwulan. Ah, ya,
kau bidadari, pasti itu!
Dan pasti kau tersesat!
Begitu saja lalu kutawari
kau untuk tinggal
bersamaku. Ide gila yang
mendadak muncul dan
gilanya kau tak bisa
mengatakan ''tidak''.
Tapi rupanya kau ingin
bikin kesepakatan. Kau
bilang ketika itu,
''Bolehlah! Aku bisa
tinggal bersamamu asal
aku boleh kembali pada
saat bulan gerhana dan
orang menabuhi logam
dan besi. Karena pada
saat itu, ada bagian langit
yang terbongkah dan aku
bisa kembali lewat situ.''
Aku tentu saja setuju.
Kusebut kau Perempuan
Langit. Kelicikanku sudah
kumulai ketika itu. Aku
terima syaratmu. Aku
tahu, aku akan
memilikimu selamanya.
Tak akan ada lagi orang
menabuhi segala logam
dan besi pengusir bulan
gerhana, sayang... Cerita
dari negerimu mengenai
kebiasaan orang di
bumiku yang menabuhi
segala logam dan besi
sembari menyerukan
nama Batara Kala itu telah
usang. Kau seolah-olah
memang datang dari
sejarah silam. Bumi telah
banyak berubah, Kekasih.
Ataukah memang
sebenarnya di negerimu
tak ada gerak, tak ada
waktu yang berputar
karena si Kala Anak Jadah
Siwa-Durga itu telah jadi
patung?
Sudah kuingatkan,
bukan? Dan masih berniat
pergi? Itu berarti kau
mengingkari kesepakatan
kita. Makhluk langit
macam apa yang khianat
pada janjinya? Sekali lagi,
ya sekali lagi, tak ada
orang menabuhi logam
dan besi pengusir
gerhana, sayang... Itu
berarti kemenangan
buatku, bukan?
Kemenangan seorang
pecinta yang kuakui
berawal dari kelicikan dan
kejengkelan menunggu
perempuan iseng
beranting-anting
panjang....
***
PEREMPUAN Langit itu
menderukan tangis di
bibir ranjang. Aku benci
perempuan yang
cengeng. Muncul
isengku. Kuambil kedua
sayapnya yang sekian
purnama kusimpan di
almari. Itu juga bagian
kelicikanku. Pada saat dia
bersedih karena tak
mungkin bisa kembali ke
langit, aku malah
menggodanya. Lelaki
pecinta macam apa aku?
Shit! Boleh jadi aku bukan
orang yang mencintai
perempuan itu. Aku
cuma orang yang
posesif. Aku hanya ingin
menguasai dia. Merasa
bangga memiliki
seutuhnya seorang
bidadari dari langit.
''Ini kedua sayapmu!
Kalau mau pergi, pergi
saja, Perempuan Langit
laknat! Kau pikir lelaki bisa
menderita hanya karena
rasa cintanya
tersebratkan? Kau keliru,
Makhluk Langit keparat!
Pergi saja!''
Itu mulutku! Mulut licik
yang mungkin telah
teracuni bisa ular beludak
yang seolah-olah terjulur
dari lidah perempuan
beranting-anting panjang
itu. Padahal, ketika
mulutku mengumpat
dalam bahasa cabul itu,
ada tusukan di hatiku.
Pada hakikatnya, aku
sungguh mencintainya
dan akan merana bila dia
jadi kembali ke langitnya.
Tapi tak mungkinkah
pecinta tak bisa meliciki
yang dicintai?
Dia makin menderukan
tangis. Aku bertambah
benci. Serupa
kebencianku ketika
mendengar lagu cabul
penyanyi dangdut
murahan. Amarahku
mendadak lahir.
''Aku bisa membuatmu
mati kalau aku mau.
Sayapmu akan kulempar
ke tungku. Kau pernah
membuka rahasiamu
tentang itu. Ingat kau?
Kau bilang kau akan mati
kalau sayapmu kubakar.
Tapi tidak, Puan! Cintaku
padamu sejauh negeri
langitmu yang entah itu.
Tak mungkin kulakukan
itu. Sebab, aku pun akan
merana dan mungkin
mati juga.''
Maka kulempar saja
kedua sayap ke
mukanya. Tangisnya
semakin menderu.
Kebencianku semakin
menggubal. Ingin
kupukul kepalanya atau
kutampar saja pipinya
atau kubekap mulutnya.
Tak mungkin itu! Seorang
pecinta sejati tak mungkin
menyakiti orang yang
dicintai, selicik dan
sebeludak apa pun aku
yang telah sekian lama
minum dari bisa
perempuan beranting-
anting panjang itu.
''Pergilah! Kau tak perlu
memikirkan kesepakatan
kita. Atau, kau ingin aku
menabuhi logam dan
besi?''
Aku berlari ke dapur.
Dengan marah kutabuhi
apa saja yang kujumpai:
wajan, panci, kompor...
Lalu berlari keluar dan
menjumpai gerhana
bulan telah selesai.
Kutinggalkan Perempuan
Langit yang masih
menderukan tangis. Aku
tak ingin kembali ke
rumahku. Semoga pub
masih buka saat itu dan
aku bisa menenggak
Cassanova. Syukurlah
apabila perempuan
beranting-anting panjang
itu benar-benar ada di
sana dan itu berarti aku
akan mereguk
kenikmatan racun-
bisanya yang telah sekian
purnama tak lagi
mengharu-biru aku.
***
DIA memang ada di pub
itu. Dia tengah menyanyi
ketika aku memesan
Cassanova. Sekilas
matanya licik mengerling
padaku ketika mulutnya
menggumamkan ''Cry
me a River''. Tak jelek
suaranya. Meskipun tentu
saja tak sebagus Diana
Krall. Kutenggak gelas
pertamaku. Mendadak
ada gairah meletup-letup.
Pasti seusai lagu itu dia
akan melantunkan
''Besame Mucho''.
Ciumlah, ya ciumlah aku
sebanyak-banyaknya,
selalu, setiap saat, pasti
itu yang dia kehendaki!
Aku tersenyum pahit.
Kembali terbayang lidah
penuh bisa itu menjilati
rongga mulut dan bertaut
lama dengan lidahku. Ah,
akhirnya aku harus
kembali padanya karena
Perempuan Langit itu
mungkin saat ini sudah
terbang kembali ke
negerinya.
Persetan! Aku ingin
Cassanova ini cukup
membuatku melupakan
perempuan yang kali
pertama kujumpai dalam
jubah putih
berselubungkan
benderang. Kutenggak
gelas kedua. Kutuang lagi.
Gelas ketiga. Keempat.
Kelima dan ingin beranjak
ke panggung ketika
akhirnya ''Besame
Mucho'' keluar juga dari
mulutnya. Lidahnya
menjulur ke arahku
sembari bernyanyi. Tapi
aku sudah mabuk dan
mungkin aku tertidur
cukup lama di meja pub
itu.
***
REKAH subuh 800 tahun
kemudian, aku
terbangun. Aku pulang ke
rumahku. Istriku tengah
menyeterika bajuku ketika
kubuka pintu. Ia terbiasa
melakukan itu sembari
menyiapkan sarapan,
selalu pagi-pagi buta.
Tergopoh-gopoh dia
menyambutku dengan
manja. ''Dari mana saja
kamu, Sayang? Beberapa
jam ini aku
menunggumu dengan
cemas. Aku khawatir
perempuan beranting-
anting pajang itu kembali
memerdaya kamu.
Seusai kau pergi, dia
datang kemari dan
mencarimu. Kau tak lagi
menemuinya, bukan?''
Aku tak menjawab. Dia
tidak tahu, aku baru saja
kehilangan seorang
perempuan dari langit.
Beberapa saat kemudian,
aku mendengar suara
tangis dari dalam kamar.
''Siapa yang menangis di
dalam kamar?'' Istriku
terkejut dan menggeleng-
gelengkan kepala. ''Tak
ada suara tangis, kok.
Kamu mungkin terlalu
capai, Sayang...''
Tangisan itu masih
kudengar. Shit! Itu
tangisan Perempuan
Langitku! Bersigegas aku
ke kamar dan menjumpai
Perempuan Langit itu
tengah menangis
sembari memeluk kedua
sayapnya. Aku sunggu
benci tangisan. Kuhardik
dia, ''Kenapa tak jadi
pergi! Enyah saja! Cepat!''
teriakku.
Mungkin mendengar aku
berteriak-teriak, istriku
berteriak pula, ''Ada apa,
Sayang?''
Dia muncul di pintu
kamar dan seketika
kulihat wajahnya
memucat. Tiba-tiba dia
berteriak, ''Kamu kenapa?
Lo, lo, kenapa
punggungmu? Kenapa
ada sayap di
punggungmu itu?''

cerpen : Wangi Kaki Ibu

KETIKA bibir dan
hidungnya menyentuh
punggung kaki yang
cokelat keriput itu, ia
merasakan air matanya
menetes. Membasahi
permukaan kulit yang
kisut. Terguling dari
tonjolan otot menuju
lingir telapak kaki,
sebagian ke sela jemari.
"Aku tahu, bukan kamu
yang membunuhnya,"
bisik serak seorang
perempuan tua, yang
kedua mata-kaki kanan
dan kirinya sedang ia
dekap.
Entah siapa yang
memberi kabar indah itu
ke telinga yang mungkin
tak sepenuhnya
berfungsi. Atau ada yang
langsung membisikkan
ke ceruk hatinya?
Membuat lelaki itu teringat
perjalanan yang
sesungguhnya tak
panjang, namun
dirasakan sangat berlarut-
larut. Semata oleh pikiran
yang kalang-kabut.
SUBUH retak melahirkan
fajar. Takbir menggema
di telinga, dari pelbagai
surau, yang terletak jauh
maupun dekat.
Dipantulkan oleh bening
embun. Membubung ke
awan-gemawan yang
parasnya sedang dipulas
rona lembayung. Angin
reda, membuat pohonan
yang belum menjelaskan
warna daunnya terdiam
tunduk, seperti sabar
menanti perintah
berikutnya. Di dalam
rongga dadanya yang
kurus, tampak dari
kemejanya yang terasa
demikian longgar, ada
sebersit ngilu berdesir.
Ia baru saja
meninggalkan stasiun
Tugu. Dengan langkah
bimbang, tak ubahnya
selembar daun kering
yang terseret angin, ia
merasa harus mengenali
kembali setiap ruang dan
benda yang dilalui. Toko-
toko yang berderet
memanjang ke Malioboro
masih menutup pintu.
Atau mungkin hari ini tak
akan membuka
dagangan, karena tiba
Lebaran. Jalan aspal yang
memiliki beberapa lubang
akibat genangan air, tak
berbeda dari kota yang ia
tinggalkan. Trotoar
dengan warna paving-
block yang tak sama
antara satu dengan yang
lain, tentu lantaran pernah
terbongkar di sana-sini.
Dan yang terhirup ke
dalam paru-parunya
adalah udara yang
menebarkan aroma
tersendiri: sisa malam
yang tersangkut dan
terlambat sirna.
Ini wajah kota kelahiran,
yang pernah
memberikan keindahan
masa kanak-kanak. Ketika
Janti masih berupa jalan
tanah berbatu. Ketika
Hotel Ambarukmo berdiri
paling megah dan
bergaya di Jalan Solo.
Dan Demangan
merupakan pusat jajan
dengan bakso, es buah,
sate, dan limun berwarna-
warni. Lalu ia, dulu sekali,
mengendarai sepeda
ringkih, selalu
menghabiskan hari-hari
Ramadan dengan
menyewa komik atau
membacanya di kios
persewaan itu sambil
menunggu magrib.
Terbayang dalam
kenangan: Barda
Mandrawata sebagai Si
Buta dari Gua Hantu.
Pendekar Bambu Kuning.
Gundala Putera Petir
karya Hasmi dari kota ini.
Peni sudah Mati. Ah, Peni!
Itu tokoh utama dalam
komik roman karya Jan
Mintaraga. Tokoh yang
sesungguhnya telah mati.
Dan seorang perempuan
lain telah menyamar
sebagai Peni, seolah-olah
masih hidup, tak berdaya
di atas kursi roda, namun
sanggup membongkar
kematian Peni yang
dilatari ketamakan atas
harta warisan...
Dan Peni, seseorang
yang seharusnya sangat
dicintai, kini juga telah
mati. Sejenak jemari
tangan kanannya
bergetar bagai diserang
tremor. Ia menggigil
bukan oleh dingin pagi
yang mengusap dada
kerempengnya. Tapi oleh
ingatan yang
membuatnya harus
pulang ke kota kelahiran.
Matanya memandang ke
segala arah. Ia mencari
becak. Ada beberapa
becak teronggok di ruas
jalur lambat Jalan
Pangeran Mangkubumi,
tapi pemiliknya masih
meringkuk dengan
sarung lusuh. Ah, apakah
mereka tak mendengar
suara takbir dari pengeras
suara masjid di sana-sini?
Ini hari Lebaran.
Seharusnya mereka
berkumpul dengan istri
dan anak di rumah
sumpek masing-masing.
Atau jika masih
bujangan, boleh juga
sesekali begadang di
surau demi hari yang
istimewa ini. Tapi,
kadang-kadang, Lebaran
memang memberikan
ironi kepada sejumlah
orang. Ketika seharusnya
sebuah hati digenangi
kebahagiaan, ada
sebagian yang mendapati
dirinya tenggelam dalam
duka paling dalam. Dia,
barangkali, menjadi salah
seorang di antara mereka.
Apakah sebaiknya
berjalan kaki ke Janti?
Tentu akan tiba kesiangan
di rumah, yang separo
dindingnya masih
bertahan dengan papan
kayu. Sepanjang
perjalanan tentu akan
berpapasan dengan
rombongan jamaah
shalat Ied. Tentu akan
banyak mata
memandangnya dengan
raut muka bertanya-
tanya. Siapakah lelaki
yang melangkah gontai
seperti tanpa tujuan itu?
Sebuah pertanyaan yang
tak mungkin terucapkan
dari wajah-wajah
gembira, yang bersinar
oleh cahaya kemenangan
Ramadan. Sebuah
pertanyaan yang lebih
baik sembunyi dalam hati
mereka, ketimbang
menyinggung perasaan.
Ini hari yang akan
dipenuhi oleh hati orang-
orang sabar, jiwa-jiwa
yang memaafkan. Bukan
untuk menyimpan tanda
tanya.
Maka ia memberanikan
diri untuk menggugah
seorang tukang becak
yang kebetulan sedang
menggeliat. Orang itu
tampak kaget, serentak
mengucek mata, dan
memandang langit yang
mulai semburat kuning.
"Antarkan aku ke Janti."
Penarik becak itu sedikit
termangu. Memandang
lurus ke wajah tirus.
"Apakah Sampean
merasa mengenalku,
Mas?"
Penarik becak itu tergesa
menggeleng. Kemudian
turun untuk berpindah
tempat ke belakang dan
mempersilakan calon
penumpangnya naik.
Udara pagi mengiringi
kayuhan yang masih
berat oleh beban kantuk.
Seperti sebuah pena yang
menggaris kertas
kosong, becak itu
meluncur dalam sunyi.
Kesunyian yang sebentar
lagi pecah oleh para
jamaah dari banyak gang
perumahan.
Sepanjang jalan, lelaki di
dalam becak itu berpikir:
apakah ini keputusan
yang benar?
Mengunjungi Ibu untuk
menyampaikan
kegagalan? Ia gemetar
bagai demam, dan
ingatan tentang sebuah
malam jahanam melintas
begitu keras di benaknya.
CAHAYA bolam lima
belas watt sejenak
terhalang bayang, seperti
padam seketika.
Membuat matanya
mendadak terbuka.
Menyadari ada seseorang
masuk ke dalam
kamarnya yang tak
pernah dikunci, ia segera
bangkit duduk. Waspada.
"Maaf, aku mengganggu.
Tapi ini sungguh penting.
Aku menemukan Peni!"
"Oh," lelaki tuan rumah
itu mengusap matanya.
Kata "Peni" terdengar
sangat penting di
telinganya. Ia meraih
gelas di samping tempat
tidur dan segera minum
air putih yang tersisa.
"Di mana?"
"Maaf, jangan
membuatmu kaget. Di
sebuah klinik
tersembunyi, tempat
aborsi."
"Astaghfirullah."
"Apa yang harus aku
lakukan?"
Lelaki itu tampak
tercenung. Seperti
sedang mengumpulkan
seluruh kesadaran,
mengusir sisa-sisa mimpi
berkarat.
"Membawanya kemari,"
ujarnya dengan suara
serak.
Si pembawa berita
tampak ragu-ragu.
"Aku kakak kandungnya,
Bung! Jadi aku berhak
memanggilnya."
"Jika dia tak mau?"
"Paksa!"
"Jika dia ternyata punya
suami..."
"Masya Allah, aku masih
ingat kata-katamu. Dia
kaulihat berganti-ganti
lelaki. Kudengar darimu
juga, dia pernah
digerebek polisi saat pesta
shabu-shabu, dan
ditebus oleh seseorang..."
Mereka berdua terdiam.
Waktu merambat
menuju saat makan
sahur. Mereka
menyadari, suara keras
percakapan akan
terdengar di bilik kiri dan
kanan.
"Mungkin yang terpenting
adalah bahwa kamu tahu,
dia lari dari rumahku, tapi
tidak pulang ke Yogya
untuk merawat Ibu yang
sudah sepuh. Berbulan-
bulan aku mencarinya,
tanpa berani
menyampaikan secara
jujur kepada Ibu. Aku
mencarinya!"
"Tapi... dia telah
membuatmu terusir dari
jamaah di Al-Hidayah,
mencoreng namamu
sebagai pengurus majelis
ta'lim..."
"Itu tidak penting," Lelaki
itu menahan napas.
Sebersit rasa sedih
melintas ngilu. "Adalah
dosaku jika sampai Peni
terseret ke jurang gelap.
Itu sebabnya aku ingin
menemuinya dalam
bentuk apa pun."
"Baik, aku akan
mencobanya."
"Atau...," Lelaki itu
tampak berpikir. "Begitu
kamu mendapatkannya,
teleponlah aku. Biar aku
yang mendatanginya."
Sang tamu mengangguk
lalu berpamitan. Suara
televisi di bilik sebelah
menyiarkan fragmen
tematik Kampung Lele.
Terdengar tawa
penghuninya yang
tergelitik oleh perdebatan
antara Opie, Mali, dan
Bolot...
SUASANA begitu tegang
saat ia tiba di klinik yang
tersembunyi dalam gang.
Perempuan dengan
rambut masai
memaksakan diri bangkit
dari pembaringan,
menyibak gorden
pembatas dan bergegas
keluar dari kamar.
Langkahnya tertegun di
pintu, tangannya
memegang erat kusen
kayu, menahan rasa sakit
entah di mana. Dalam
pandangan kabur, ia
melihat lelaki yang sangat
dikenalnya. Rasa takut
membuat kepalanya
berkunang-kunang.
Lelaki itu memburunya.
Dipeluknya perempuan
yang limbung itu, jatuh
memberat ke dadanya. Ia
melihat matanya terkatup
rapat, bulu matanya
bergetar. Barangkali
darah mengaliri betis, ke
lantai, basah dan terasa
lengket di telapak kaki
yang terlepas dari sandal.
"Peni...," Lelaki itu panik.
Lalu tatapannya
mengandung nyala
marah kepada seorang
suster yang menciut
ketakutan. "Mana
dokternya?!"
Suster itu menggeleng
dengan paras seputih
kertas.
"Panggil dia! Segera!"
"Dia sudah pergi. Satu
jam yang lalu."
"Aku perlu namanya!" Ia
memanggil temannya.
"Hazri! Tolong catat, juga
alamat praktiknya yang
lain."
Hazri merobek bungkus
rokok, mencabut pulpen
dari sakunya, dan
memandang penuh
tuntutan kepada suster
yang merapat ke dinding.
Terbata-bata bibir
perempuan itu
mengucapkan serangkai
nama dan alamat.
"Peni, bertahanlah," lelaki
itu berbisik di telinga
perempuan yang begitu
lemas dalam pelukan.
Lalu ia kembali
meradang. "Suster, kamu
pasti tahu cara
memanggil ambulans. Di
sini ada telepon, kan?
Cepat, minta ambulans
sekarang!"
Hazri dengan sigap
menuju ke meja yang
memiliki kabel telepon.
Ditelusuri jalur kabel itu
dan menemukan
pesawat telepon
tersembunyi dalam laci.
Ia mengangkat gagang
telepon, dan ketika yakin
ada nada aktif,
diberikannya kepada
suster. "Panggil
ambulans!"
Peni dibaringkan di kursi
ruang tunggu yang
berjajar tiga. Terkulai tak
sadarkan diri. Darah
masih mengalir dari sela-
sela paha. Mencemaskan.
Sekaligus membuat lelaki
itu menyesal. Seharusnya
ia tak perlu selekas itu
datang, sehingga Peni
masih punya waktu
untuk memulihkan diri.
Rasanya berjam-jam
waktu berlalu sampai
terdengar sirine
ambulans. Dua orang
lelaki membawa tempat
tidur beroda memasuki
gang. Hazri menolong
sampai Peni naik ke
dalam ambulans. Dan di
dalam kabin dilakukan
pertolongan pertama,
termasuk memasang
jarum infus ke punggung
tangan Peni. Dari tabung
plastik yang tergantung,
tetes-tetes cairan
mengalir melalui selang
mungil.
Sepanjang perjalanan
menuju rumah sakit,
lelaki itu tidak bicara apa-
apa. Mulutnya hanya
mendesahkan doa.
Berulang kali Hazri
memegang lengannya,
mencoba
menenteramkan. Sesekali
mengucapkan: "Aku
berjanji akan mencari
dokternya dan
melaporkannya kepada
polisi."
Ia tertunduk. Jemari
tangannya mengusap
rambut dan kening Peni.
Matanya basah. Hatinya
terguncang. Apa yang
harus ia katakan kepada
ibunya? Saat membawa
Peni ke Jakarta, ke rumah
kontrakannya, tiga tahun
yang lalu, ia berjanji:
"Peni memang susah
diatur. Di sini dia hanya
akan merepotkan Ibu.
Biar aku yang
mengajarnya. Agar dia
tahu bahwa hidup itu
berat dan harus dilalui
dengan perjuangan. Agar
dia bisa mandiri."
Tapi...apa yang kemudian
terjadi? Lelaki itu
menggeleng sendiri
dengan rasa sakit, seolah
ribuan duri menusuki
setiap permukaan
jantungnya. Ia hanya
memperoleh kegagalan.
Kini seluruh tenaga yang
dicurahkan di tempat
kerja, di pelabuhan yang
panas dan keras, dan sisa
waktunya yang
dihabiskan untuk mencari
keteduhan di lingkungan
masjid, seperti sia-sia
saja. Kenyataannya ia tak
pernah tahu, apa yang
dilakukan Peni sehari-hari
selain menjadi pegawai
administrasi di sebuah
pabrik sepatu. Terutama
setelah enam bulan yang
lalu bersikeras pindah
tempat tinggal, berpisah
dengannya, demi
mendekati tempat kerja.
Namun tak berapa lama
berita tak pantas itu
merebak hingga ke
wilayah Al-Hidayah.
Selanjutnya sungguh
perih untuk diceritakan.
Hanya Hazri, sahabatnya
yang masih dapat
memahami perasaannya.
Lamunannya membuyar
saat ambulans berhenti di
teras Unit Gawat Darurat.
Semua berjalan lekas,
mirip potongan film yang
disunting sembarangan.
Apa pun yang dia lakukan
sekarang, termasuk
menandatangani
perjanjian penggantian
darah dari PMI,
seluruhnya demi Peni.
TAPI Peni sudah mati.
Tanpa percakapan
panjang. Hanya
permohonan maaf, juga
kepada Ibu yang wajib
disampaikan. Inilah
amanat yang sedang ia
bawa ke kampung
halaman.
Ia terisak perlahan.
Ditahannya agar tak
terdengar. Tapi dadanya
penuh oleh benda padat
bernama kesedihan. Atau
mungkin rasa sesal.
"Bangunlah," meski desis
itu tertangkap lemah,
sesungguhnya begitu
tegar. Hanya seorang ibu
yang dapat memadukan
antara sakit hati dan kasih
sayang dengan nyaris
sempurna.
Lelaki yang bersimpuh itu
tak bergerak. Sejak
keberangkatannya dari
Jakarta, ia berharap ada
hukuman untuknya.
Bukan ucapan yang akan
membuatnya merasa
bersalah berkepanjangan.
"Kamu telah melakukan
sesuai dengan
kemampuanmu,"
perempuan tua itu
kembali bicara. Tidak
gemetar seperti yang
diharapkan. Kesunyian
merambat.
Sesungguhnya hanya
tiga tahun dia tak pulang.
Sebelumnya, hampir
setiap tahun ia
mengunjungi Ibu dan
adik satu-satunya, sejak
ayahnya meninggal. Tapi,
tak pernah perasaannya
terusik oleh indahnya
masa kanak-kanak di kota
ini. Kenangan itu kini
memanggilnya.
Panggilan yang begitu
deras. Sederas air
matanya.
"Maafkan aku, Ibu,"
bisiknya tanpa berani
mengangkat wajah. Ia
merasa amat tenteram di
kaki ibunya. Merasa
sangat terlindungi dari
segala marabahaya.
Tercium harum aroma
kasih sayang dari kaki
ibunya, yang
mengalahkan seluruh
hawa busuk di luar sana.
Dan ia bagai kembali ke
masa kanak-kanak.
"Ibu sudah memaafkan
kamu sebelum kamu
mengetuk pintu.
Sekarang kamu ambil air
wudlu, dan segera
berangkat shalat Ied."
Kedua tangan perempuan
tua itu meraih bahu anak
lelakinya. Ketika wajah
tirus itu tengadah,
dilihatnya penuh air mata.
Perlahan ia mencium dahi
lelaki itu, persis di antara
kedua matanya..

cerpen : LELAKI YG MENANGKAP REMBULAN

IA DUDUK di atas batu
besar. Hanya dengan
memakai celana pendek,
bertelanjang dada, dan
sehelai sarung yang
diselempangkan ke bahu.
Dingin angin malam,
gesekan daun dengan
ranting kering sama sekali
tak dihiraukan. Wajahnya
legam menengadah ke
langit memandang bulan
sebentuk perahu yang
berlayar di balik awan.
Tangan kanannya
memegang erat sebuah
jaring.
�Aku pasti bisa
menangkapmu.�
Laki-laki itu meloncat dari
batu besar tempat
duduknya. Cahaya bulan
melukis bayangan
sesosok lelaki di atas
tanah. Bayangannya lebih
pendek dari tubuh
aslinya. Ia hanya setinggi
satu setengah meter.
Kepala bulatnya
tersangga leher tembem
di atas tubuhnya yang
lemu. Ia selalu membuat
gerakan mematahkan
leher ke arah kanan.
Orang-orang desa
menyebutnya pendono -
kebiasaan buruk.
Sepasang kaki telanjang
berlari di atas tanah.
Tangan kanannya
menggapai-gapai ke
langit dengan jaring yang
dipegang erat. Semakin
kencang ia berlari,
semakin cepat bulan
menghidar dari
jaringnya. Ketika ia
menghentikan langkah
sepasang kaki
telanjangnya, bulan
sebentuk perahu itu ikut
berhenti dan
memandang ke arahnya.
�Bulan,� seru lelaki
pendek sambil terengah-
engah �suatu hari aku
pasti bisa
menangkapmu.�
***
LELAKI pendek itu tinggal
bersama seorang
perempuan tua yang
melahirkan lelaki pendek:
Poyo. Tidak ada arti
khusus, mengapa
perempuan itu memberi
nama sependek tubuh
anaknya. Yang ia tahu
lelaki yang tumbuh
dengan air susunya itu
memiliki arti yang
istimewa baginya,
walaupun ia memiliki
kelainan fisik dan mental.
Dalam melewati hari,
mereka hidup di sebuah
rumah berdinding
bambu. Untuk keperluan
makan sehari-hari ibunya
harus mengasak padi di
sawah yang baru saja
disiangi. Walaupun
demikian perempuan itu
tak pernah meratapi
hidup dengan kesedihan.
Dirinya selalu
menterjemahkan segala
penderitaan tentu akan
memiliki akhir.
Beberapa hari yang lalu
dirinya dipanggil oleh
Marsudi untuk tanda
tangan. Kata Marsudi,
orang miskin seperti
dirinya akan
mendapatkan sepetak
tegal. Tegal yang
sekarang ditanami
morbei oleh perhutani
sesungguhnya adalah
tanah milik tetua desa
pada zaman Belanda.
Bukti itu ada di Supiran,
untuk mendapatkan hak
tegal dirinya bersama
beberapa orang harus
menandatangani surat
perjanjian, begitulah
terang Marsudi
kepadanya. Ia manut
saja, lha wong banyak
tetangganya yang ikut
juga.
�Poyo pasti dapat
menangkap bulan� kata
lelaki pendek sambil
mengangkat kedua
bahunya.
�Kalau makan jangan
banyak omong�
�Tapi Poyo ingin telur
rebus.�
�Sudah, makan saja
sambal dan nasinya itu.�
�Poyo mau tangkap
bulan!�
�Bulan itu tak bisa
ditangkap. Sudah,
habiskan nasimu! �
�Biar!� Poyo berdiri
kemudian mengambil
jaring yang menyelempit
di dinding bambu
� Pokoknya Poyo mau
tangkap bulan.�
�Poyo, kembali!�
Lelaki pendek itu tak
menghiraukan perkataan
ibunya. Perempuan itu
hanya bisa
menggelengkan kepala
sambil memandang nasi
Poyo di alumunium yang
tak disentuhnya sama
sekali. Apabila anaknya
berlaku seperti itu ia tak
bisa melarangnya. Ia tahu
benar bahwa tak lama
lagi anaknya akan kembali
dengan wajah yang
murung kemudian
menyusul tidur
disampingnya.
***
SAMBIL mengayunkan
jaringnya ke atas, lelaki itu
berlari mengejar bulan.
Bayangan tubuhnya yang
tergambar di bingkai
tanah selalu menemani
dirinya berlari. Semakin
cepat ia berlari, maka
semakin cepat pula bulan
menghindar dari
pandangannya.
Kemudian dengan nafas
terengah-engah akan
menyumpahi bulan di
atas sana.
�Dengarkan aku,� kata
lelaki itu sambil terus
menatap bulan �aku pasti
bisa menangkapmu
suatu saat. �
Lelaki itu meloncat dari
batu berjalan menuju
rumah Pak Haji Rahman.
Dirinya suka menatap
wajah Diyanti, putri pak
haji, dari balik pohon
jambu karena wajahnya
memendar di kegelapan
bagai rembulan sebentuk
belahan semangka.
Apalagi ketika ia melihat
Diyanti memakai
kerudung ketika pulang
ngaji.
Malam ini ia harus
membiarkan bulannya
tetap mengapung jauh di
langit kelam. Setelah
menyelempitkan
jaringnya di dinding
bambu, ia perhatikan
ibunya yang tengah
tertidur di balai bambu. Di
sampingnya ada sebuah
meja dengan ublik yang
menyala redup karena
minyak tanahnya hampir
kering. Ia menyusul tidur
di samping ibunya.
***
SIANG itu Poyo bersama
ibunya menyusuri tegal
yang telah diterimanya
dari Tim Sukses.
Begitulah orang-orang
menyebutnya. Sudikun,
anggota Tim Sukses,
menjelaskan kepadanya
bahwa tegal itu sudah
menjadi hak milik warga
desa. Uang yang telah
dikumpulkan dalam
buntalan kain yang
tersimpan di bawah
bantal itu kini telah
menjadi batang-batang
jagung yang tumbuh di
tegal miliknya.
Perempuan itu
tersenyum melihat usia
jagung yang telah lewat
satu bulan. Ia melihat
tunas-tunas daun hijau
tumbuh di batangnya.
Dua bulan kedepan ia
pasti sudah dapat
memetik jagung yang
tumbuh di tanah tegal
miliknya.
Perempuan itu juga
masih ingat kata-kata
Marsudi ketika ia
menandatangani surat
perjanjian sambil
menyerahkan beberapa
puluh rupiah, yang kata
mereka untuk
administrasi, bahwa
apapun nanti yang akan
terjadi dirinya harus tetap
menanam di tegal,
walaupun perhutani
melarangnya. Tegal ini
sudah menjadi milik
warga dan untuk urusan
sertifikat masih dalam
proses pengadilan,
tambah lelaki yang
menjadi ketua Tim
Sukses.
Ketika ia menatap tanah
seluas puluhan hektar, ia
teringat kembali
penjelasan Tim Sukses
bahwa dirinya bersama
warga lain akan
mendapatkan lagi jumlah
yang lebih banyak dari
sekarang. Asalkan warga
mau mendukung
kegiatannya, maka tak
lama tegal itu akan
menjadi milik mereka.
Dirinya sangat bersyukur
bahwa Allah telah
memberikan rejeki yang
cukup baginya.
Kebahagiaan ini telah
menambah keyakinannya
bahwa Allah menyayangi
hambanya yang sabar
dan berusaha. Allah akan
memberikan rejeki pada
saat yang tak pernah
diduga.
Ia tak mempersoalkan
seperti sebagian warga
yang benci perhutani.
Asal dia bisa menggarap
tegal, baginya sudah lebih
dari cukup, tak perlulah
memusuhi perhutani
yang kata sebagian
warga adalah pemeras
rakyat.
Semalam, Marsudi
datang kembali ke
rumahnya dan ke
beberapa tetangga
menjelaskan bahwa
sertifikat tegal belum bisa
jadi. Tim Sukses harus
segera ke pengadilan
pusat untuk mengalahkan
pihak perhutani yang tak
mau melepas tegal.
Perempuan itu sudah
tahu bahwa dirinya harus
menyerahkan uang lagi
untuk urusan pengadilan.
Kali ini Marsudi meminta
sejumlah seratus
limapuluh per orang, ia
tak punya uang sebanyak
itu. Namun, Marsudi
adalah orang baik dalam
pikirannya karena
kekurangan itu dapat
dicicil di kemudian hari.
Seorang tetangga di tegal
lari ke arahnya dengan
tergesa-gesa.
�Kita harus mbantu Tim
Sukses demo di
pengadilan. �
�Sekarang?�
Dengan sepasang kaki
telanjang perempuan itu
mengajak anaknya untuk
segera pulang, karena
dirinya harus ikut
tetangga untuk ke
pengadilan.
***
POYO menatap jagung
yang dulu ditanamnya,
kini telah dilindas-tuntas
oleh sebuah mesin besi.
Rata dengan tanah.
Warga desa yang pernah
menanam di tegal
menatap haru tanaman
mereka. Kebencian,
kemarahan, bingung,
ketakberdayaan, dan
kepasrahan tampak di
wajah petani-petani desa
yang kini menundukkan
kepala menatap tanah.
Beberapa puluh polisi
berada di sana, juga
seseorang pemuda yang
mengarahkan sebuah
kamera. Anak-anak
tersenyum sambil
bergaya, seolah mereka
akan masuk tv. Seorang
polisi tengah berbicara di
depan mereka.
�Bapak-bapak dan ibu-
ibu apa yang telah kalian
lakukan itu adalah
melanggar hukum. Tegal
ini adalah milik
pemerintah. Sebenarnya
pemerintah bersama
masyarakat menggarap
tegal ini dalam program
PHBN. Penggarapan
Hutan Bersama Negara.
Masyarakat punya hak
garap bukan hak jual
seperti yang telah
dijanjikan oleh Tim
Sukses. Apalagi mau
menandatangani
pernyataan kalau saudara-
saudara telah menggarap
tegal ini selama 40 tahun.
Itu namanya penipuan.
Seharusnya bapak dan
ibu menolak memberikan
dana Tim Sukses untuk
menuntut perhutani di
pengadilan. Itu
pelanggaran kepada
negara dan hukumannya
berat. Perhutani akan
mengganti tanaman yang
kini dibabat. Pada saatnya
nanti saudara-saudara
sekalian juga akan diberi
hak garap tegal sesuai
dengan jatah masing-
masing. �
***
BULAN sebentuk perahu
masih mengapung di
langit malam. Bagaimana
dirinya yang kecil ini bisa
terbang, memetiknya,
dan memasukkan ke
dalam jaring. Poyo
berfikir sambil
memandangi bulan di
atas batu besar.
Kepalanya bergerak
melukis wajah bulan. Ia
teringat perkataan ibunya
sebelum dirinya
meninggalkan rumah.
�Kamu tak usah sedih
seperti itu, kita musti
bersyukur apa yang
diberikan Allah untuk kita.
Mulai minggu depan kita
bisa menanam lagi di
tegal. Tadi pak RT ngasih
kartu garap kepada
emak. �
Laki-laki itu mengangkat
jaringnya dan
mengarahkan ke wajah
bulan, seolah-olah bulan
itu benar-benar masuk ke
dalam jaringnya. Ia
melonjak-lonjak di atas
batu dan berteriak
kegirangan.
�Aku berhasil, aku
berhasil. Sudah aku
katakan aku pasti bisa
menangkapmu. �
Ia berniat akan
memberitahu ibunya
tentang bulan yang baru
saja masuk ke dalam
jaringnya. Namun tiba-
tiba ia membatalkan
niatnya. Wajahnya
kembali muram, dan ia
duduk lagi di atas batu
besar sambil
memandang bulan
sebentuk perahu yang
berlayar di balik awan.

Perempuan-perempuan Berjenger

Perempuan-perempuan
itu dijejerkan begitu saja.
Jumlahnya mungkin
sepuluh, mungkin lima
belas. Mereka menebar
geliat pandang gelisah.
Perempuan-perempuan
itu seperti dihempaskan
dari langit dan menjadi
perempuan-perempuan
tersesat. Kata orang,
mereka dijejerkan karena
suatu persamaan.
Semuanya adalah
perempuan berjengger.
Konon kabarnya jengger
adalah kutukan bagi
perempuan-perempuan
yang dilaknat.
Perempuan yang
melanggar etika
kesopanan. Perempuan
yang menjual kelaminnya
demi nasi dan lauk
pauknya. Karena itulah
mereka dijejerkan.
Mereka harus menerima
pengadilan. Mereka harus
menjawab pertanyaan-
pertanyaan.
Aku sendiri memupuk
kemarahan pada
perempuan-perempuan
berjengger. Bagiku
mereka memuakkan dan
sampah. Mereka tak
bekerja dengan bantalan
bahu dan blazer. Mereka
tak mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan
terhormat. Lihatnya
perempuan paling ujung.
Baju merahnya telah
kumal. Kain di kakinya
telah lusuh. Lidahnya
menggeliat-geliat basah,
siap memangsa jantan-
jantan yang datang.
Liatlah perempuan di
tengah-tengah. Baju
birunya berubah putih.
Dadanya turun naik
dengan tonjolan yang
digerak-gerakkan,
mengundang hasrat.
Lihatlah pula perempuan
di ujung, kain di atas
pahanya ia gerak-
gerakkan. Ia biarkan paha
itu terbuka dengan kain
yang berkibar-kibar.
Seorang laki-laki kekar
dengan badan berbulu
datang mendekat. Kedua
tangannya menenteng
gada juga pecut. Lima
laki-laki lain bergerak dari
kejauhan. Perempuan-
perempuan berjengger
terkurung diantara laki-
laki kekar. Kata orang,
mereka adalah para
penjagal yang datang
untuk bertanya atau
memecut para
pembangkang
�Hai perempuan satu,
katakan apakah engkau
berjengger! � si
perempuan pertama
hanya mengangguk
dengan acuh sambil terus
menjulur-julurkan
lidahnya.
�Mengapa kau
berjengger, telah berapa
batang yang kau peras? �
�Aku memeras sebanyak
yang kumau. Dan telah
kusebarkan jengger yang
kumiliki. Ha ha ha! � si
perempuan pertama
tertawa keras dan
terbahak-bahak.
Si lelaki kekar
memindahkan
langkahnya pada
perempuan kedua.
�Hai perempuan dua,
kaupun berjengger?�
Si Perempuan dua hanya
diam.
�Hai perempuan dua, kau
tidak tuli bukan. Apakah
engkau berjengger? �
�Kalau kau ingin tahu
lihatlah sendiri!� kata si
perempuan dua dengan
ketus. Aku memandang
si perempuan dua
dengan heran. Bumi
seperti dibalikkan begitu
saja, ketika aku melihat
wajahku di sana.
Mengapa perempuan ini
tak sama dengan sepuluh
perempuan lainnya. Yang
memakai baju-baju
kumal dengan belahan
dada rendah. Yang
bibirnya bergincu
blepotan hingga ke pipi.
Perempuan ini
mengenakan blazer dan
bantalan bahu. Dia
memakai blazer dan
bantalan bahu milikku.
Perempuan setan,
perempuan sampah.
�Jangan kira karena
bajumu, aku takkan
mencambukmu, atau
memotong lidahmu bila
kau tak menjawab! � si
penjagal kekar
menggelegar.
Si perempuan dua
mengkeret ketakutan.
Ketakutan kurasakan
memenuhi tempurung
kepalaku. Kuputuskan
untuk menganggukkan
kepala. Kusarankan si
perempuan dua untuk tak
melawan si penjagal.
�Bagaimana kau bisa
berjengger, pekerjaan
hina apa yang telah kau
kerjakan? �
�Aku tidak tahu, dia ada
begitu saja di kelaminku.�
kataku dengan suara
dibuat memelas.
Berharap ia mulai kasihan
padaku.
�Jangan bohong kau,
pelacur!�
�Aku bukan pelacur. Kau
lihatlah bajuku. Aku tidak
seperti mereka! �
�Jangan mencari alasan,
bagaimana kau bisa
berjengger bila bukan
pelacur! �
�Aku tidak bohong,
sungguh. Jangan laknat
aku tolonglah. Bebaskan
dan berikan
pengampunan. Aku akan
bakar jengger ini, kembali
menjadi perempuan
tanpa jenggger.
Percayalah aku tidak
berbohong, karena
semua orang pun
percaya padaku.
Janganlah menuduhku
dengan jengger di
kelaminku. Telah banyak
kulakukan hal-hal mulia.
Telah kutolong anjing
yang kuyup terluka oleh
hempasan mobil. Telah
kubagikan receh-receh
pada ratusan pengemis.
Aku pun telah membayar
lebih kepada supir-supir
taksi yang mengantarku
pulang. Telah
kusumbang ratusan juta
rupiah untuk anak-anak
terlantar agar mereka
bersekolah. Tentulah aku
perempuan terhormat.
Aku layak diampuni
karena aku bukan
perempuan berjengger
yang sama dengan yang
lain. Yang menjulur-
julurkan lidah dan
menggerakkan buah
dada. Aku bekerja
dengan blazer dan
bersepatu. Antara waktu
siang dan sore.
Kukerjakan pekerjaan-
pekerjaan terhormat! �
***
Ku dengar suara tawa
menggema di ruangan.
Entahkah aku memang
pernah mendengarnya.
Atau tawa itu terdengar
karena aku terlalu takut
untuk mendengarnya.
Suara tawa itu terdengar
saat mataku telah tertutup
rapat, saat suntikan bius
membuat otakku berhenti
memberi kabar. Saat
orang-orang berseragam
hijau mulai menjamahku
dari segala sudut. Aku
merasa tertipu. Mengapa
mereka tertawa saat aku
tak mampu lagi
menggerakkan tubuhku,
atau memerintah bibirku
untuk bicara. Apakah
mereka hanya tak ingin
membuatku malu atau
sebaliknya ingin berbisik-
bisik di belakang.
Brengsek.
Andai saja tak terlalu
banyak orang di ruangan
ini yang membuat
mereka bisa saling
bergunjing. Aku ingin
mereka tuli juga bisu.
Aku ingin mereka tak
berlidah bila mungkin tak
berotak. Agar mereka tak
bisa mentertawakanku
meskipun di dalam benak.
�Sudah selesai Bu!�
sebuah kalimat yang
diucapkan lembut
membangunkanku.
Kurasakan tubuhku telah
berselimut dan tidur
diantara jejeran pasien
lain. Senyum para
perawat terasa seringai.
Betulkah mereka
tersenyum dengan tulus
untukku.
Kuusahakan sesedikit
mungkin bicara. Juga
menjawab pertanyaan.
Ingin kuatur kata-kata
yang bakal ke luar dari
mulut para perawat itu.
Dan memastikan mereka
berhenti menyeringai.
Memang yang ke luar
dari lidah mereka kata-
kata lembut, juga
senyum ramah. Apakah
mereka telah begitu
terlatih tak menunjukkan
pergunjingan, meskipun
hanya dalam benak.
�Itunya sakit!� seorang
perawat mendatangiku
dan bertanya dengan
suara lembut juga. Tidak
lupa tersenyum. Namun
sekali lagi terlihat seperti
seringai.
�Dikit.!� kataku lembut
sambil tersenyum
ramah. Perawat itu harus
tahu aku memang
perempuan baik-baik.
�Kepalanya masih pusing?
� katanya lagi sambil
tersenyum atau
menyeringai.
�Udah nggak!� jawabku
lagi tak kalah lembut.
Setelah pertanyaannya
terjawab, perawat itu
berlalu sambil sekali lagi
tersenyum atau
menyeringai. Aku hanya
dapat menarik nafas lega.
Perawat terakhir ini sudah
bertanya dengan kalimat
yang membuat
jantungku berlari
kencang. Ingin
kukerahkan semua
kekuatan agar aku bisa
menatap matanya, dan
mengatur isi kepala si
perawat. Juga semua
perawat. Juga semua
pasien yang ada di
ruangan ini. Agar tak ke
luar kata ejeken di bibir
atau tertawaan di
belakang. Aku tidak mau
mengetahuinya
walaupun hanya dalam
sorot mata. Sialan.
Mengapa jengger ini tetap
membawa masalah
bahkan saat ia telah
dibakar, dibabat dan
dimusnahkan.
***
Negeri ini sedang dilanda
wabah. Begitu kabar
yang berhembus akhir-
akhir ini. Jengger
menebar begitu mudah.
Jengger bisa diterbangkan
angin dan menempel
begitu saja. Ia menempel
tanpa memandang waktu
atau orang. Kabarnya
seorang penyihir
perempuan yang
mendendamlah biang
keladi wabah ini. Ia
kirimkan jengger pada
sebanyak mungkin
perempuan agar ia tak
lagi sendirian.
Si perempuan pembawa
kabar bertanya balik
padaku, mengapa
kutanyakan tentang
jengger. Dengan
berbohong kukatakan,
aku banyak mendengar
kabar tentang jengger.
Cerita ini telah menjadi
gosip yang dibicarakan
diam-diam.
Sebetulnya bukan itu, aku
hanya mencoba mencari
tahu darimana jengger ini
berasal. Apakah ia berasal
dari lelaki kegelapan yang
tiba-tiba membekapku di
sebuah gang. Atau ia
terbang bersama kutu
yang suka menempel di
toilet-toilet umum. Atau
barangkali dokter kulit
kelaminlah yang telah
menempelkannya saat
aku lengah. Saat aku
menyuruhnya
menyembuhkan penyakit
keputihan yang
menggangguku.
Aku berasal dari jaringan
putih, barangkali jaringan
yang paling putih.
Mungkin sedikit abu-abu,
namun kata orang masih
wajar. Jaringan seputih
ini, sangat anti dengan
wabah yang bernama
jengger. Semua orang
telah tahu itu. Semua
orang telah percaya itu.
Dokter saja heran
bagaimana jengger bisa
menempel di jaringan
putih ini. Analisanya,
barangkali ada jengger
yang telah bermutasi
hingga bisa hidup di
segala musim juga segala
jaringan.
***
Perempuan-perempuan
itu dijejerkan begitu saja.
Jumlah mereka mungkin
sepuluh atau lima belas.
Dari mulut mereka yang
berdenging ke luar sabda-
sabda. Sumpah serapah
menjulur dari lidah yang
membentuk huruf
melingkar-lingkar.
Perempuan-perempuan
itu bersepatu mengkilap.
Celana panjang menutup
mata kaki. Rambut
disasak atau di-blow ke
belakang. Yang jelas
mereka mengenakan
blazer dan bantalan bahu.
Mereka bergincu tipis
sewarna bibir. Alis tipis
sewarna alis. Perona pipi
tipis sewarna pipi. Tapi
mereka meneriakkan
teriakan-teriakan garang.
Mulut mereka
membentuk bulatan,
trapesium, persegi
panjang atau kubus.
Perempuan-perempuan
itu rupanya berdiri
berhadapan dengan
gerombolan perempuan-
perempuan berjengger.
Kemanakah para penjagal
kekar yang tadi
meneriakkan ancaman-
ancaman. Kemana
gerombolan laki-laki
garang pembawa pecut
dan gada itu.
Kumpulan perempuan
berjengger masih dengan
pakaian kumal yang
semakin kumal. Warna-
warnanya telah berganti
warna baru, yang
barangkali belum sempat
dinamai oleh para
ilmuwan. Rambut keriting
kusut ditambah sorot
mata sayu. Senyum
hanya di ujung bibir
mirip mencibir. Tangan di
pinggang berkacak
menantang. Sementara
lidah masih menjulur-
julur, liur masih menetes-
netes, paha dan dada
masih mengangkang
menantang.
Aku mengerti mengapa
perempuan-perempuan
itu dijejerkan. Aku tahu
dimana tempatku berada.
Aku segera bergerak ke
arah barisan yang
kumau. Posisiku baru
kelihatan jelas saat aku
sampai pada langkah ke
sepuluh. Langkah
kesebelas terasa semakin
berat dan membuat kaki-
kakiku terpaku. Tiba-tiba
sebuah tangan, atau
barangkali belalai gajah
menarik tubuhku dan
menghempaskannya.
Tubuhku menabrak
tubuh-tubuh para
perempuan berjengger.
Sebuah sosok
menjulang, mungkin
monster menatapku
dengan garang.
�Jangan coba-coba
macam-macam,
perempuan jengger!�
Aku mengkeret takut.
�Di sini tempatmu!�
monster itu berbicara lagi.
�Me..nga..pa!� hanya
sepatah kalimat itu yang
ke luar dari mulutku yang
bergetar
�Karena di kelaminmu
ada jengger. Kau mau
mungkir? �
�Sudah tidak ada lagi
bukan?� kataku hati-hati.
�Tempatmu sudah jelas,
kau tak bisa berpindah-
pindah.! �
Aku hanya dapat
mengikuti kemauan si
monster. Si monster ini
tentu sulit diajak bicara
panjang lebar. Ia takkan
cukup sabar menunggu
cerita-ceritaku. Bahwa
aku berasal dari jaringan
paling putih. Bahwa aku
menyimpan antibodi
untuk segala jenis
jengger. Ia pun takkan
mendengar bila dokter
pun menyatakan
keheranan. Ia juga takkan
peduli jengger ini
barangkali jenis yang
telah bermutasi. Tubuh
besar menyeramkannya
itu hanya sanggup
mencerna kebenaran
tunggal. Baginya sia-sia
ceritaku. Barangkali
karena iapun jenis
mahluk yang telah
bermutasi. Biarlah
kuturuti apa yang ia mau.
Hanya kepadamu cerita
ini kuperdengarkan.
Karena kamu yang
mungkin mengerti
posisiku.

GOLD FEVER, GOLD RUSH

Sekali-sekali di nDalem
Keagengan ada rapat
pleno komplit-plit.
Biasanya diadakan pada
hari-hari minggu pertama
sesudah tanggak 1
Januari. Acaranya bisa
macam-macam. Tapi
intinya sedikit
mengadakan retrospeksi
tahun yang lalu, tapi yang
lebih penting tahun baru
ini mau diapakan.
Dalam laporan saya
minggu yang lalu, saya
sudah melaporkan
bagaimana Mister Rigen
tidak terlalu antusias
memandang tahun
kerbau ini. Dengan ogah-
ogahan dan sedikit loyo
beliau mengatakan
“ sembilan belas sembilan
tuju ya sembilan belas
sembilan tuju …” Tapi
malam Minggu kemarin
saya ingin mengetahui
bukan hanya pendapat
Mister Rigen, tapi juga
istri dan anak-anaknya.
Kami duduk lesehan di
sekitar meja bundar, di
atas permadani
menghadap tivi yang
untuk sementara kami
matikan. Di meja hanya
ada wedang teh dan
sedikit gorengan tempe
gembus dan balok,
singkong goreng.
“Sembilan belas
sembilan tuju ya
sembilan belas sembilan
tuju ya, Gen. ”
“Ha enggih.”
“Tapi terusnya ya
bagaimana, Pakne ?
Matur, dong, matur.”
“Iya, Pake, matur.”
“Iya, Pake, matur.”
Mata Mister Rigen
sedikit melotot kepada
keluarganya. Maksudnya
supaya aura wibawanya
sedikit bersinar.
“Haisy, diem.
Wong nggak tahu
urusannya kok belum-
belum sudah mendresel-
dresel. Diem dulu. ” kok
totaliter begitu kamu!
Mbok biar rakyat
mendresel-dresel. Wong
rakyat itu haknya rak
Cuma mendresel-dresel.
Kalau hak yang Cuma
sedikit itu sudah kamu
patahkan, gek punya apa
lagi rakyat itu, Gen. ”
“Heh, heh, heh,
Bapak. Coba kalau saya
yang mendresel-dresel,
nanti rak Bapak juga
meng-heisy-kan saya. ”
“Yo wis, yo wis.
Sekarang bagaimana kira-
kira 1997 di negara kita
ini. Kalau kamu
menjawab cuma
sembilan belas sembilan
tuju, ya sembilan belas
sembilan tuju, tak gibeng
kowe !”
“He, he, he, Bapak.
Ternyata tahun 1997 itu
kemilau mencorong, Pak.”
“Elho, Pake !”
“Elho, Pake ”
“Elho, Pake ”
“Lha, lha, lha. Terus
mau mendresel lagi, to,
kalian ?”
“Iyo wis,
Mencorong. Ceritakan
penglihatanmu Gen. ”
“Ha, ya
mencorong, Pak. Wong
dalam penglihatan saya
Indonesia itu bakalnya
jadi negara emas. ”
“Elho? Negara emas
bagaimana ? Mas Rigen
apa ?”
“Ayak, Bapak! Ya
emas betul, Pak. Apa
Bapak tidak membaca
koran apa? Kalimantan
Timur itu bakalnya jadi
negara emas di dunia,
Pak! Hebat, nggih, Pak ?”
“Wwe-eh, elok!
Terus kamu mau apa?”
“Ya, nderek bingah,
Pak. Ikut senang, ikut
bangga. ”
“Sudah cuma itu?”
“Lho, saya itu juga
membayangkan kalau
saya ikut-ikutan cari emas
di sana !”
“Iyo, Pakne?”
“Iyo, Pakne?”
“Iyo, Pakne?”
“Terus nanti saya
jadi kaya banget. Dapat
emas sak-tekruk, sak-
hohah. Kamu mau
anting, kalung, gelang
emas sak-berapa, Bune?
Dan Beni, Tolo-tolo, mau
apa kamu? Sepeda
Federal baru, sepeda
motor seperti punya
Mandra ?”
Saya diam, ternganga,
mendengar Mister Rigen
yang tiba-tiba beringas
kejangkitan gold fever,
demam emas. Lebih
dahsyat lagi
kedengarannya dia
kepingin pergi ke
Kalimantan mendulang
emas, ikut-ikutan arus
gold-rush. Apa dia juga
membayangkan itu
semua seperti di film-film
Holywood itu? Wah,
berabe itu !”
“Atau kalau kita
sudah kaya betul, kita
pindah sekalian ke sana.
Tambang emas itu mesti
kita tunggui bersama-
sama Bune, Tole-tole !”
“Cuma kita Pak,
yang nunggu tambang
emas kita ?”
“Yo ora, too, bego!
Bapak mesti punya
satpam sak-batalyon
yang jaga. ”
“Anjing herder,
Pak, anjing herder?”
“Ooh, apesnya
tujuh ekor, Le.”
“Huk, huk, huk,
huk!”
“Heisy, ora usah
melo njegog! Nggak usah
ikutan menyalak, kamu !”
Saya masih terkesima
melihat dan mendengar
Mister Rigen & Family
pada kerasukan demit
emas Kalimantan.
“Lha, terus simbah-
simbah di Pracimantoro
dan Jatisrono, priye, Pak?
Masak ya ditinggal ?”
“Iyo, lho, Pak
Terus bagaimana
mereka? Apa di
Kalimantan itu ada juga
sawah dan tegalan seperti
di Jawa ?” “Ada kerbau,
sapi dan kambing, Pak?”
Mereka tiba-tiba semua
terdiam. Mungkin
membayangkan desa
kedua orang-tuanya
beserta tegalan dan
ternak mereka. Mungkin
tiba-tiba mereka sadar
akan jauhnya Kalimantan
dan belum menentunya
tambang emas itu.
Akan saya sendiri, tiba-
tiba membayangkan bule-
bule Kanada yang pada
ikut punya konsesi
tambang emas itu. Dan
juga para pemilik-pemilik
konglomerat Indonesia
yang ikut petentengan
bersama mereka. Pada
wira-wiri, pake topi-topi
lebar, dan menenteng
ganco, sekop dan entah
apa lagi.
“Wah, Pak, Bune,
tole kabeh. Yen tak pikir-
pikir, kita sak-gotrah itu
sudah kejauhan mimpi.
Jebulnya, yang paling
baik itu ya di sini saja.
Nderek Pak Ageng. Nggih
Pak, nggih?”
Saya cuma mantuk-
mantuk lega sembari
bilang.
“Ha iyo begitu, too.
Iyo, iyo, iyoo..”
Malam itu kami rame-
rame makan bakmi
godog Jumpa Pers …

Matahari Kecil Cerpen Zakaria Tame

ABU Fahd kembali pulang
ke rumah. Berjalan
perlahan, melenggang
enteng, melewati gang
sempit, diterangi cahaya
kekuning-kuningan dari
lampu yang berpendar.
Karena kesunyian yang
merajalela di sekeliling
mengimpit, kemudian dia
mulai bernyanyi dengan
suara lembut, "Merana
aku, di negeri ini!"
Saat itu hampir tengah
malam. Kegembiraan
Abu Fahd bangkit,
meluap-luap, dia sudah
meminum tiga gelas
arak. Kembali dia tertawa
dalam mabuknya:
"Merana Aku, di negeri
ini!"
Dia sadar suara seraknya
terdengar merdu, dan
memuji dirinya sendiri
dengan suara keras:
"Suaraku sangat merdu."
Dia membayangkan
orang-orang terkesima
melambaikan tangan
padanya, bersorak-sorai
dan bertepuk tangan. Dia
tertawa panjang,
kemudian menggeser
pecinya. Dia kembali
bernyanyi dengan riang:
"Merana Aku, di negeri
ini!"
Pakaiannya pantolan abu-
abu yang longgar dan
memakai sabuk kuning
tua yang melingkar di
pinggangnya. Sesampai
di bawah lengkung
jembatan, tempat
kegelapan mengalahkan
cahaya, dia dikejutkan
oleh domba hitam yang
menghadap ke dinding.
Dia membuka mulutnya
karena terkejut dan
berkata pada dirinya
sendiri: "Aku tidak
mabuk. Lihat baik-baik,
teman, apa yang kamu
lihat? Ini seekor domba.
Dimana pemiliknya?"
Dia melihat ke sekeliling
tapi tak menemukan
siapa pun-lorong
sepenuhnya sepi.
Kemudian, dia kembali
menatap domba, berkata
pada dirinya sendiri:
"Apakah aku mabuk?"
Dia tertawa pelan dan
berkata sendiri: "Allah
Maha Pemurah, Dia tahu
bahwa Abu Fahd dan
Umi Fahd belum makan
daging selama
seminggu." Abu Fahd
mendekati domba itu dan
mencoba memaksanya
untuk berjalan dengan
mendorongnya, tetapi
domba itu tetap diam.
Abu Fahd memegang
kedua tanduknya yang
kecil dan menyentaknya,
tetapi domba tetap saja
berdiri menghadap
dinding. Abu Fahd
memandangnya dengan
ramah, kemudian berkata:
"Aku akan membawamu
pergi, ibumu dan
bapakmu juga."
Abu Fahd mengangkat
domba itu dan
memanggulnya, keempat
kakinya digenggamnya
erat-erat, kemudian dia
menemukan
perjalanannya sambil
bernyanyi, kegembiraan
makan besar.
Tak lama kemudian dia
berhenti bernyanyi, sadar
domba itu membesar
dan makin berat.
Mendadak dia mendengar
suara: "Lepaskan Aku."
Dahi Abu fahd berkerut
dan berkata pada dirinya:
"Mungkin Allah mengutuk
pemabuk." Setelah
beberapa saat dia
mendengar lagi suara
yang sama: "Lepaskan
Aku, Aku bukan domba."
Abu Fahd gemetar dan
teror itu memaksanya
untuk memegang domba
lebih erat. Dia tiba di
sebuah halte dan kembali
mendengar suara: "Aku
anak Raja jin. Tinggalkan
Aku dan akan kuberikan
kamu apapun yang kamu
minta."
Abu Fahd tidak kembali
tetapi melanjutkan
perjalanannya dengan
langkah terburu-buru.
"Akan kuberikan kamu
tujuh guci yang dipenuhi
emas."
Abu Fahd
membayangkan dirinya
mendengar denting
cincin-cincin emas
berjatuhan dari tempat
didekatnya berdiri dan
membentur tanah.
Domba itu lolos dari
pegangannya, dan dia
kembali ke tempat tadi
seraya berucap: "Ayo kita
tangkap mereka."
Dia menemukan dirinya
sendirian di lorong
panjang yang sempit. Dia
tak menemukan domba
itu dan terpaku ngeri
pada noda yang
menerornya, kemudian
dengan tergesa-gesa
melanjutkan
perjalanannya. Saat tiba
di rumah dia bangunkan
istrinya Umi Fahd dan
menceritakan semua
yang dialaminya.
"Tidurlah, kamu mabuk,"
ujar istrinya.
"Aku hanya minum tiga
gelas."
"Satu gelas pun kamu
pasti mabuk."
Abu merasa dihina, maka
cepat dia menjawab:
"Aku tidak akan mabuk
walau harus minum
segalon arak."
Umi Fahd tak lagi
mengucapkan sepatah
kata pun, dan teringat
kenangan masa kecilnya
yang mendengar tentang
jin beserta kebiasaannya.
Abu Fahd menanggalkan
pakaiannya, mematikan
lampu, dan berbaring di
samping istrinya,
menarik selimut hingga
ke dagunya.
Mendadak Umi Fahd
berkata: "Mestinya kamu
tidak melepaskannya
sampai dia
memberikanmu emas."
Abu Fahd tidak
menjawab dan Umi Fahd
melanjutkan dengan
bersemangat, "Pergilah
besok, tangkap dan
jangan lepaskan."
Abu Fahd kelelahan,
menguap.
"Tapi bagaimana aku bisa
menemukannya lagi?"
tanyanya jemu.
"Tentu saja kamu akan
temukan lagi di bawah
jembatan. Bawa ke
rumah dan kita akan
melepaskannya sampai
dia mau menyerahkan
kita uang."
"Aku takkan bisa
menemukannya lagi."
"Di siang hati, Jin tinggal
di bawah tanah. Saat
malam mereka keluyuran
di permukaan bumi dan
bermain-main hingga
fajar tiba. Jika mereka
datang dari tempat yang
disukainya, dia pasti terus-
menerus kembali ke situ.
Kamu pasti akan
menemukan domba itu
di bawah jembatan."
Abu Fahd meletakkan
tangannya di dada
istrinya, dan merayap di
antara payudaranya,
tempat tangannya
berdiam.
"Kita akan kaya," ujar Abu
Fahd.
"Kita akan beli sebuah
rumah."
"Rumah dengan taman
indah."
"Dan kita akan beli radio."
"Radio yang besar."
"Juga mesin cuci."
"Sebuah mesin cuci."
"Kita tak lagi makan
gandum cacat."
"Kita akan makan roti
putih."
Umi Fahd tertawa seperti
anak kecil, ketika Abu
Fahd melanjutkan "Akan
kubelikan kamu sebuah
baju merah."
"Hanya sebuah baju?"
bisik Umi Fahd dengan
nada mencela. "Akan
kubelikan kamu seratus
baju."
Abu Fahd terdiam
beberapa saat, kemudian
bertanya "Kapan kamu
melahirkan?"
"Dalam tiga bulan?"
"Pasti laki-laki"
"Dia tidak akan menderita
seperti kita."
"Dia tidak akan kelaparan."
"Pakaiannya bagus-bagus
dan bersih."
"Dia tak perlu lagi mencari
pekerjaan."
"Dia akan bersekolah."
"Pemilik kos tak akan
memintanya untuk
menyewa."
"Dia akan menjadi dokter
ketika dewasa."
"Aku ingin dia menjadi
pengacara."
"Kita tanyakan saja
padanya: Kamu mau jadi
pengacara atau dokter?"
Umi Fahd memeluk Abu
Fahd dengan lembut dan
bertanya dengan cerdik
"Kamu tidak akan
menikah lagi?"
"Untuk apa aku menikah
lagi? Kamu, perempuan
terbaik di bumi."
Mereka tergelincir dalam
kesenyapan, terbenam
dalam kemenangan,
keheningan yang
membahagiakan.
Namun kemudian Abu
Fahd mengenyahkan
selimut dari tubuhnya
dengan gerakan tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Umi
Fahd
"Aku pergi sekarang."
"Ke mana?"
"Aku mau menangkap
domba itu."
"Tunggulah sampai
besok malam. Sekarang
tidurlah."
Tergopoh-gopoh
meninggalkan tempat
tidur, menyalakan lampu
yang tergantung di
langit-langit rumah, dan
mulai berpakaian.
"Mungkin kamu takkan
menemukannya."
"Pasti kutemukan."
"Hati-hati, jangan sampai
lepas lagi," ujar Umi Fahd
seraya membantu
suaminya
mengikat sabuk kuning di
pinggang suaminya.
Abu Fahd merasa sedang
berjudi dengan banyak
resiko. Dia mungkin
butuh goloknya, sebuah
golok berukiran dan
bersinar kehitam-hitaman.
Meninggalkan rumah dan
bergegas pergi ke bawah
jembatan, dia kecewa tak
menemukan domba itu.
Lorong kosong
melompong, jendela-
jendela rumah di
sepanjang sisi lorong
telah tertutup, lampu-
lampu sudah
dipadamkan.
Abu Fahd berdiri
menunggu, tak bergerak,
menyandarkan
punggungnya di dinding.
Tak Iama kemudian
terdengar olehnya suara
gaduh mendekat dan
segera muncul lelaki
mabuk yang terkejut dan
menabrak dinding
lorong, dia teriak dengan
suara tersengal: "Hei, Aku
laki-laki."
Setelah dekat dengan Abu
Fahd, lelaki itu berhenti
dan terbelalak terkejut.
"Apa yang kamu lakukan
di sini?" ucapnya saat
tersandung, suara
sedang.
"Pergilah."
Lelaki pemabuk
mengerutkan keningnya,
kemudian wajahnya
berseri gembira
"Demi Allah, Aku juga
mencintai perempuan.
Apakah kamu menunggu
suami tertidur dan
berharap istrinya
membuka pintu
untukmu?"
Abu Fahd terganggu; dia
jengkel dengan lelaki
mabuk itu yang berkata
lagi "Apakah perempuan
itu cantik?"
"Perempuan mana?"
jawab Abu Fahd gusar.
"Perempuan yang kamu
tunggu."
"Pergilah dari sini."
"Aku bisa menjadi
temanmu."
Abu Fahd marah, dia
takut domba tak mau
menampahkan diri
karena kehadiran lelaki
pemabuk ini.
"Pergilah atau
kupecahkan kepalamu,"
bentak Abu Fahd.
Lelaki mabuk
bersendawa. "Apa
katamu?" jawabnya
terkejut. "Kamu pikir
siapa dirimu?" Lelaki
mabuk itu diam sesaat,
kemudian
menambahkan: "Kemari
dan pecahkan kepalaku.
Ayo, kemari."
"Pergilah jauh-jauh dan
tinggalkan Aku," ujar Abu
Fahd. "Aku tak ingin
menghancurkan
kepalamu."
"Tidak, tidak," balas lelaki
mabuk marah.
"Kemarilah dan pecahkan
kepalaku." Dia mundur
dengan tenang dan
berkata dengan suara
senang, "Akan kuputar
kamu dalam alat
penyaring."
Lelaki mabuk itu
memasukkan tangannya
ke dalam kantong
jubahnya dan
mengeluarkan pedang
panjang. Segera Abu
Fahd meletakkan tangan
pada sabuknya, dan
menghunus goloknya,
ketika pemabuk itu
mendekatinya dengan
hati-hati tapi cepat. Abu
Fahd mengangkat
goloknya tinggi-tinggi
dan menurunkannya,
ketika lelaki mabuk itu
bergerak ke kini dengan
tiba-tiba sedemikian
tangkas sehingga golok
tidak menyentuhnya,
kemudian menusukkan
pedangnya ke dada Abu
Fahd, dan teriak: "Terima
itu!"
Sambil menarik
pedangnya dari tubuh
Abu, lelaki mabuk itu
mundur. Abu bersandar
ke dinding berlumpur
dan mengangkat kembali
goloknya pada
kesempatan kedua, tetapi
pedang tajam lelaki
mabuk sekali lagi
menghujam di dadanya.
Ayunan ketiga mengenai
bahu kanannya, lengan
kanannya pun lunglai dan
jejemarinya melepas
goloknya, yang jatuh ke
tanah.
Berjingkrak
mengelilinginya, lelaki
pemabuk teriak:
"Terimalah ini...dan ini..."
Lelaki itu menikam Abu
Fahd di pinggangnya.
Abu merintih dan
lututnya sudah melemah.
Dia berusaha untuk tetap
berdiri mantap di kakinya,
tetapi pedang panjang
kembali terayun
kepadanya, mengenai
tubuhnya dan merobek
tanpa henti.
"Terimalah itu," teriak
lelaki mabuk.
Dia menikam Abu Fahd di
perut dan mengeluarkan
isi perutnya. Tangan Abu
Fahd menekan perutnya:
isi perutnya panas, basah
dan berdenyut. Dia
memasukkan kembali
dan jatuh. Dia
menelentangkan diri,
ketika lelaki mabuk, yang
duduk di sampingnya,
batuk-batuk, muntah,
kemudian melarikan diri.
Abu Fahd mendengar
domba berkata padanya:
"Tujuh guci emas."
Banyak emas berjatuhan,
bersinar seperti matahari
kecil. Kemudian suara itu
mulai menjauh, dan
semakin jauh.