Entri Populer

Rabu, 29 Desember 2010

cerpen : LELAKI YG MENANGKAP REMBULAN

IA DUDUK di atas batu
besar. Hanya dengan
memakai celana pendek,
bertelanjang dada, dan
sehelai sarung yang
diselempangkan ke bahu.
Dingin angin malam,
gesekan daun dengan
ranting kering sama sekali
tak dihiraukan. Wajahnya
legam menengadah ke
langit memandang bulan
sebentuk perahu yang
berlayar di balik awan.
Tangan kanannya
memegang erat sebuah
jaring.
�Aku pasti bisa
menangkapmu.�
Laki-laki itu meloncat dari
batu besar tempat
duduknya. Cahaya bulan
melukis bayangan
sesosok lelaki di atas
tanah. Bayangannya lebih
pendek dari tubuh
aslinya. Ia hanya setinggi
satu setengah meter.
Kepala bulatnya
tersangga leher tembem
di atas tubuhnya yang
lemu. Ia selalu membuat
gerakan mematahkan
leher ke arah kanan.
Orang-orang desa
menyebutnya pendono -
kebiasaan buruk.
Sepasang kaki telanjang
berlari di atas tanah.
Tangan kanannya
menggapai-gapai ke
langit dengan jaring yang
dipegang erat. Semakin
kencang ia berlari,
semakin cepat bulan
menghidar dari
jaringnya. Ketika ia
menghentikan langkah
sepasang kaki
telanjangnya, bulan
sebentuk perahu itu ikut
berhenti dan
memandang ke arahnya.
�Bulan,� seru lelaki
pendek sambil terengah-
engah �suatu hari aku
pasti bisa
menangkapmu.�
***
LELAKI pendek itu tinggal
bersama seorang
perempuan tua yang
melahirkan lelaki pendek:
Poyo. Tidak ada arti
khusus, mengapa
perempuan itu memberi
nama sependek tubuh
anaknya. Yang ia tahu
lelaki yang tumbuh
dengan air susunya itu
memiliki arti yang
istimewa baginya,
walaupun ia memiliki
kelainan fisik dan mental.
Dalam melewati hari,
mereka hidup di sebuah
rumah berdinding
bambu. Untuk keperluan
makan sehari-hari ibunya
harus mengasak padi di
sawah yang baru saja
disiangi. Walaupun
demikian perempuan itu
tak pernah meratapi
hidup dengan kesedihan.
Dirinya selalu
menterjemahkan segala
penderitaan tentu akan
memiliki akhir.
Beberapa hari yang lalu
dirinya dipanggil oleh
Marsudi untuk tanda
tangan. Kata Marsudi,
orang miskin seperti
dirinya akan
mendapatkan sepetak
tegal. Tegal yang
sekarang ditanami
morbei oleh perhutani
sesungguhnya adalah
tanah milik tetua desa
pada zaman Belanda.
Bukti itu ada di Supiran,
untuk mendapatkan hak
tegal dirinya bersama
beberapa orang harus
menandatangani surat
perjanjian, begitulah
terang Marsudi
kepadanya. Ia manut
saja, lha wong banyak
tetangganya yang ikut
juga.
�Poyo pasti dapat
menangkap bulan� kata
lelaki pendek sambil
mengangkat kedua
bahunya.
�Kalau makan jangan
banyak omong�
�Tapi Poyo ingin telur
rebus.�
�Sudah, makan saja
sambal dan nasinya itu.�
�Poyo mau tangkap
bulan!�
�Bulan itu tak bisa
ditangkap. Sudah,
habiskan nasimu! �
�Biar!� Poyo berdiri
kemudian mengambil
jaring yang menyelempit
di dinding bambu
� Pokoknya Poyo mau
tangkap bulan.�
�Poyo, kembali!�
Lelaki pendek itu tak
menghiraukan perkataan
ibunya. Perempuan itu
hanya bisa
menggelengkan kepala
sambil memandang nasi
Poyo di alumunium yang
tak disentuhnya sama
sekali. Apabila anaknya
berlaku seperti itu ia tak
bisa melarangnya. Ia tahu
benar bahwa tak lama
lagi anaknya akan kembali
dengan wajah yang
murung kemudian
menyusul tidur
disampingnya.
***
SAMBIL mengayunkan
jaringnya ke atas, lelaki itu
berlari mengejar bulan.
Bayangan tubuhnya yang
tergambar di bingkai
tanah selalu menemani
dirinya berlari. Semakin
cepat ia berlari, maka
semakin cepat pula bulan
menghindar dari
pandangannya.
Kemudian dengan nafas
terengah-engah akan
menyumpahi bulan di
atas sana.
�Dengarkan aku,� kata
lelaki itu sambil terus
menatap bulan �aku pasti
bisa menangkapmu
suatu saat. �
Lelaki itu meloncat dari
batu berjalan menuju
rumah Pak Haji Rahman.
Dirinya suka menatap
wajah Diyanti, putri pak
haji, dari balik pohon
jambu karena wajahnya
memendar di kegelapan
bagai rembulan sebentuk
belahan semangka.
Apalagi ketika ia melihat
Diyanti memakai
kerudung ketika pulang
ngaji.
Malam ini ia harus
membiarkan bulannya
tetap mengapung jauh di
langit kelam. Setelah
menyelempitkan
jaringnya di dinding
bambu, ia perhatikan
ibunya yang tengah
tertidur di balai bambu. Di
sampingnya ada sebuah
meja dengan ublik yang
menyala redup karena
minyak tanahnya hampir
kering. Ia menyusul tidur
di samping ibunya.
***
SIANG itu Poyo bersama
ibunya menyusuri tegal
yang telah diterimanya
dari Tim Sukses.
Begitulah orang-orang
menyebutnya. Sudikun,
anggota Tim Sukses,
menjelaskan kepadanya
bahwa tegal itu sudah
menjadi hak milik warga
desa. Uang yang telah
dikumpulkan dalam
buntalan kain yang
tersimpan di bawah
bantal itu kini telah
menjadi batang-batang
jagung yang tumbuh di
tegal miliknya.
Perempuan itu
tersenyum melihat usia
jagung yang telah lewat
satu bulan. Ia melihat
tunas-tunas daun hijau
tumbuh di batangnya.
Dua bulan kedepan ia
pasti sudah dapat
memetik jagung yang
tumbuh di tanah tegal
miliknya.
Perempuan itu juga
masih ingat kata-kata
Marsudi ketika ia
menandatangani surat
perjanjian sambil
menyerahkan beberapa
puluh rupiah, yang kata
mereka untuk
administrasi, bahwa
apapun nanti yang akan
terjadi dirinya harus tetap
menanam di tegal,
walaupun perhutani
melarangnya. Tegal ini
sudah menjadi milik
warga dan untuk urusan
sertifikat masih dalam
proses pengadilan,
tambah lelaki yang
menjadi ketua Tim
Sukses.
Ketika ia menatap tanah
seluas puluhan hektar, ia
teringat kembali
penjelasan Tim Sukses
bahwa dirinya bersama
warga lain akan
mendapatkan lagi jumlah
yang lebih banyak dari
sekarang. Asalkan warga
mau mendukung
kegiatannya, maka tak
lama tegal itu akan
menjadi milik mereka.
Dirinya sangat bersyukur
bahwa Allah telah
memberikan rejeki yang
cukup baginya.
Kebahagiaan ini telah
menambah keyakinannya
bahwa Allah menyayangi
hambanya yang sabar
dan berusaha. Allah akan
memberikan rejeki pada
saat yang tak pernah
diduga.
Ia tak mempersoalkan
seperti sebagian warga
yang benci perhutani.
Asal dia bisa menggarap
tegal, baginya sudah lebih
dari cukup, tak perlulah
memusuhi perhutani
yang kata sebagian
warga adalah pemeras
rakyat.
Semalam, Marsudi
datang kembali ke
rumahnya dan ke
beberapa tetangga
menjelaskan bahwa
sertifikat tegal belum bisa
jadi. Tim Sukses harus
segera ke pengadilan
pusat untuk mengalahkan
pihak perhutani yang tak
mau melepas tegal.
Perempuan itu sudah
tahu bahwa dirinya harus
menyerahkan uang lagi
untuk urusan pengadilan.
Kali ini Marsudi meminta
sejumlah seratus
limapuluh per orang, ia
tak punya uang sebanyak
itu. Namun, Marsudi
adalah orang baik dalam
pikirannya karena
kekurangan itu dapat
dicicil di kemudian hari.
Seorang tetangga di tegal
lari ke arahnya dengan
tergesa-gesa.
�Kita harus mbantu Tim
Sukses demo di
pengadilan. �
�Sekarang?�
Dengan sepasang kaki
telanjang perempuan itu
mengajak anaknya untuk
segera pulang, karena
dirinya harus ikut
tetangga untuk ke
pengadilan.
***
POYO menatap jagung
yang dulu ditanamnya,
kini telah dilindas-tuntas
oleh sebuah mesin besi.
Rata dengan tanah.
Warga desa yang pernah
menanam di tegal
menatap haru tanaman
mereka. Kebencian,
kemarahan, bingung,
ketakberdayaan, dan
kepasrahan tampak di
wajah petani-petani desa
yang kini menundukkan
kepala menatap tanah.
Beberapa puluh polisi
berada di sana, juga
seseorang pemuda yang
mengarahkan sebuah
kamera. Anak-anak
tersenyum sambil
bergaya, seolah mereka
akan masuk tv. Seorang
polisi tengah berbicara di
depan mereka.
�Bapak-bapak dan ibu-
ibu apa yang telah kalian
lakukan itu adalah
melanggar hukum. Tegal
ini adalah milik
pemerintah. Sebenarnya
pemerintah bersama
masyarakat menggarap
tegal ini dalam program
PHBN. Penggarapan
Hutan Bersama Negara.
Masyarakat punya hak
garap bukan hak jual
seperti yang telah
dijanjikan oleh Tim
Sukses. Apalagi mau
menandatangani
pernyataan kalau saudara-
saudara telah menggarap
tegal ini selama 40 tahun.
Itu namanya penipuan.
Seharusnya bapak dan
ibu menolak memberikan
dana Tim Sukses untuk
menuntut perhutani di
pengadilan. Itu
pelanggaran kepada
negara dan hukumannya
berat. Perhutani akan
mengganti tanaman yang
kini dibabat. Pada saatnya
nanti saudara-saudara
sekalian juga akan diberi
hak garap tegal sesuai
dengan jatah masing-
masing. �
***
BULAN sebentuk perahu
masih mengapung di
langit malam. Bagaimana
dirinya yang kecil ini bisa
terbang, memetiknya,
dan memasukkan ke
dalam jaring. Poyo
berfikir sambil
memandangi bulan di
atas batu besar.
Kepalanya bergerak
melukis wajah bulan. Ia
teringat perkataan ibunya
sebelum dirinya
meninggalkan rumah.
�Kamu tak usah sedih
seperti itu, kita musti
bersyukur apa yang
diberikan Allah untuk kita.
Mulai minggu depan kita
bisa menanam lagi di
tegal. Tadi pak RT ngasih
kartu garap kepada
emak. �
Laki-laki itu mengangkat
jaringnya dan
mengarahkan ke wajah
bulan, seolah-olah bulan
itu benar-benar masuk ke
dalam jaringnya. Ia
melonjak-lonjak di atas
batu dan berteriak
kegirangan.
�Aku berhasil, aku
berhasil. Sudah aku
katakan aku pasti bisa
menangkapmu. �
Ia berniat akan
memberitahu ibunya
tentang bulan yang baru
saja masuk ke dalam
jaringnya. Namun tiba-
tiba ia membatalkan
niatnya. Wajahnya
kembali muram, dan ia
duduk lagi di atas batu
besar sambil
memandang bulan
sebentuk perahu yang
berlayar di balik awan.

1 komentar: