Entri Populer

Rabu, 29 Desember 2010

GOLD FEVER, GOLD RUSH

Sekali-sekali di nDalem
Keagengan ada rapat
pleno komplit-plit.
Biasanya diadakan pada
hari-hari minggu pertama
sesudah tanggak 1
Januari. Acaranya bisa
macam-macam. Tapi
intinya sedikit
mengadakan retrospeksi
tahun yang lalu, tapi yang
lebih penting tahun baru
ini mau diapakan.
Dalam laporan saya
minggu yang lalu, saya
sudah melaporkan
bagaimana Mister Rigen
tidak terlalu antusias
memandang tahun
kerbau ini. Dengan ogah-
ogahan dan sedikit loyo
beliau mengatakan
“ sembilan belas sembilan
tuju ya sembilan belas
sembilan tuju …” Tapi
malam Minggu kemarin
saya ingin mengetahui
bukan hanya pendapat
Mister Rigen, tapi juga
istri dan anak-anaknya.
Kami duduk lesehan di
sekitar meja bundar, di
atas permadani
menghadap tivi yang
untuk sementara kami
matikan. Di meja hanya
ada wedang teh dan
sedikit gorengan tempe
gembus dan balok,
singkong goreng.
“Sembilan belas
sembilan tuju ya
sembilan belas sembilan
tuju ya, Gen. ”
“Ha enggih.”
“Tapi terusnya ya
bagaimana, Pakne ?
Matur, dong, matur.”
“Iya, Pake, matur.”
“Iya, Pake, matur.”
Mata Mister Rigen
sedikit melotot kepada
keluarganya. Maksudnya
supaya aura wibawanya
sedikit bersinar.
“Haisy, diem.
Wong nggak tahu
urusannya kok belum-
belum sudah mendresel-
dresel. Diem dulu. ” kok
totaliter begitu kamu!
Mbok biar rakyat
mendresel-dresel. Wong
rakyat itu haknya rak
Cuma mendresel-dresel.
Kalau hak yang Cuma
sedikit itu sudah kamu
patahkan, gek punya apa
lagi rakyat itu, Gen. ”
“Heh, heh, heh,
Bapak. Coba kalau saya
yang mendresel-dresel,
nanti rak Bapak juga
meng-heisy-kan saya. ”
“Yo wis, yo wis.
Sekarang bagaimana kira-
kira 1997 di negara kita
ini. Kalau kamu
menjawab cuma
sembilan belas sembilan
tuju, ya sembilan belas
sembilan tuju, tak gibeng
kowe !”
“He, he, he, Bapak.
Ternyata tahun 1997 itu
kemilau mencorong, Pak.”
“Elho, Pake !”
“Elho, Pake ”
“Elho, Pake ”
“Lha, lha, lha. Terus
mau mendresel lagi, to,
kalian ?”
“Iyo wis,
Mencorong. Ceritakan
penglihatanmu Gen. ”
“Ha, ya
mencorong, Pak. Wong
dalam penglihatan saya
Indonesia itu bakalnya
jadi negara emas. ”
“Elho? Negara emas
bagaimana ? Mas Rigen
apa ?”
“Ayak, Bapak! Ya
emas betul, Pak. Apa
Bapak tidak membaca
koran apa? Kalimantan
Timur itu bakalnya jadi
negara emas di dunia,
Pak! Hebat, nggih, Pak ?”
“Wwe-eh, elok!
Terus kamu mau apa?”
“Ya, nderek bingah,
Pak. Ikut senang, ikut
bangga. ”
“Sudah cuma itu?”
“Lho, saya itu juga
membayangkan kalau
saya ikut-ikutan cari emas
di sana !”
“Iyo, Pakne?”
“Iyo, Pakne?”
“Iyo, Pakne?”
“Terus nanti saya
jadi kaya banget. Dapat
emas sak-tekruk, sak-
hohah. Kamu mau
anting, kalung, gelang
emas sak-berapa, Bune?
Dan Beni, Tolo-tolo, mau
apa kamu? Sepeda
Federal baru, sepeda
motor seperti punya
Mandra ?”
Saya diam, ternganga,
mendengar Mister Rigen
yang tiba-tiba beringas
kejangkitan gold fever,
demam emas. Lebih
dahsyat lagi
kedengarannya dia
kepingin pergi ke
Kalimantan mendulang
emas, ikut-ikutan arus
gold-rush. Apa dia juga
membayangkan itu
semua seperti di film-film
Holywood itu? Wah,
berabe itu !”
“Atau kalau kita
sudah kaya betul, kita
pindah sekalian ke sana.
Tambang emas itu mesti
kita tunggui bersama-
sama Bune, Tole-tole !”
“Cuma kita Pak,
yang nunggu tambang
emas kita ?”
“Yo ora, too, bego!
Bapak mesti punya
satpam sak-batalyon
yang jaga. ”
“Anjing herder,
Pak, anjing herder?”
“Ooh, apesnya
tujuh ekor, Le.”
“Huk, huk, huk,
huk!”
“Heisy, ora usah
melo njegog! Nggak usah
ikutan menyalak, kamu !”
Saya masih terkesima
melihat dan mendengar
Mister Rigen & Family
pada kerasukan demit
emas Kalimantan.
“Lha, terus simbah-
simbah di Pracimantoro
dan Jatisrono, priye, Pak?
Masak ya ditinggal ?”
“Iyo, lho, Pak
Terus bagaimana
mereka? Apa di
Kalimantan itu ada juga
sawah dan tegalan seperti
di Jawa ?” “Ada kerbau,
sapi dan kambing, Pak?”
Mereka tiba-tiba semua
terdiam. Mungkin
membayangkan desa
kedua orang-tuanya
beserta tegalan dan
ternak mereka. Mungkin
tiba-tiba mereka sadar
akan jauhnya Kalimantan
dan belum menentunya
tambang emas itu.
Akan saya sendiri, tiba-
tiba membayangkan bule-
bule Kanada yang pada
ikut punya konsesi
tambang emas itu. Dan
juga para pemilik-pemilik
konglomerat Indonesia
yang ikut petentengan
bersama mereka. Pada
wira-wiri, pake topi-topi
lebar, dan menenteng
ganco, sekop dan entah
apa lagi.
“Wah, Pak, Bune,
tole kabeh. Yen tak pikir-
pikir, kita sak-gotrah itu
sudah kejauhan mimpi.
Jebulnya, yang paling
baik itu ya di sini saja.
Nderek Pak Ageng. Nggih
Pak, nggih?”
Saya cuma mantuk-
mantuk lega sembari
bilang.
“Ha iyo begitu, too.
Iyo, iyo, iyoo..”
Malam itu kami rame-
rame makan bakmi
godog Jumpa Pers …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar