Entri Populer

Rabu, 29 Desember 2010

CERPEN : mimpi sebelum mati

RAMADHANI, sekalipun
sedang sekarat, aku
masih ingat dengan
ucapanku pada suatu kali.
Di satuan waktu yang
lain, berkali-kali kukatakan
kelak aku akan lebih dulu
pergi darimu. "Mati
muda," kataku datar. Dan
kau selalu saja mengunci
mulutku dengan cara
mencium bibirku.
Memutus kata-kataku
yang menurutmu tidak
pantas. Hanya saja pada
satu waktu, sebelum
akhirnya kita harus
berpisah untuk meluncur
dihembuskan ke perut
bumi, kau sempat
menampar pipi kiriku
ketika lagi-lagi aku
mengulang kalimat
tentang kematian itu.
Tidak ada lagi ciuman
seperti biasanya. Aku
berpikir mungkin kau
sudah tak bisa bersabar
menghadapiku. Atau kau
terlalu takut? Padahal aku
sudah begitu sering
bicara tentang daun yang
bertuliskan namaku di
ranting pohon itu. Bahwa
dia, kataku, sedang
menguning dan beranjak
kering untuk kemudian
bersegera gugur. Usianya
sangat pendek, tidak akan
sampai menyaingi usia
kita di sana.
Tetapi kemudian kita
bertemu lagi di tempat
yang kita sebut
kehidupan. Hanya saja
situasi yang ada sangat
berbeda. Kita masih
seusia, tetapi tidak bisa
dikatakan sebagai
seorang yang dewasa.
Bicara saja kita masih
tidak tertata rapi. Ke sana
kemari, khas bahasa anak-
anak. Semua sangat
berbeda dengan apa
yang pernah kita lalui
bersama di satuan waktu
yang lampau. Sebelum
kita berdua tertiupkan ke
alam ini.
NAFASKU terpatah-patah.
Aku merasa sangat lelah.
Seperti seorang
perempuan renta yang
sedang menunggu masa
tutup usia. Berjalan hanya
dalam khayal yang
sesungguhnya kedua kaki
tak pernah melangkah
kemana pun. Tapi aku
memang belum tua.
Meski juga tak bisa berlari-
lari. Aku hanya terus
berbaring dan berbaring.
Sejak kepergian ayahku
ke surga. Mataku masih
menampung sekian
banyak buliran bening
yang belum mendapat
giliran untuk tumpah.
Aku terlanjur tertidur.
Dan kini, aku bermimpi.
Ayahku berdiri dalam
nuansa yang begitu
lembut namun terkesan
asing bagiku. Aku
mencoba memanggilnya,
tetapi suaraku tersumbat
di tenggorokanku yang
kering. Sudah lama sekali
aku tidak minum air lewat
mulutku. Hanya selang
infus itu yang terus
menembus tangan
kananku selama ini.
Ayahku begitu sunyi,
seolah tak melihat
kehadiranku di sini.
Barangkali debur rindu di
dadaku yang
membuncah tak cukup
keras untuk menjadi
tanda keinginanku
bertemu dengannya?
Aku melihat lagi
gambaran ketika ayahku
meninggalkanku dan
ibuku. "Ayah harus ke
luar negeri," kata ibuku
padaku suatu malam.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut
ayahku. "Ayah janji tidak
akan pergi lama. Kau bisa
menandai hari dengan
terus mencoreti setiap
penanggalan di kalender
meja kerja ayah. Setiap
hari. Dan tanpa kau
sadari, ayah sudah akan
kembali di sini."
Aku memasang wajah
tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk
mantap. Ibuku
tersenyum melihat
tingkahku. Dan aku
mengantarkannya ke
bandara dengan berat
hati.
Selanjutnya, aku
disibukkan dengan
mencoreti kalender milik
ayahku. Tetapi ayahku
pergi begitu lama.
Sampai aku kelelahan
menunggu dan mulai
malas mencoreti kalender
seperti yang pernah
diminta ayah. Aku mulai
menangis dan marah
pada ibuku, juga semua
orang. Tubuhku
melemah karena aku
selalu menolak makanan
bahkan minuman. Aku
enggan bicara, termasuk
pada teman
sepermainanku,
Ramadhani. Sampai
suatu hari ibuku
mengatakan kalau ayahku
tidak akan pulang lagi.
"Ayah sudah terbang ke
surga," katanya.
Sejak itu aku sangat
membenci angka-angka.
Aku benci penanggalan
dan tidak mau melihat
kalender terpajang di
rumah. Aku benci
menghitung sesuatu. Aku
juga mulai suka melukai
diriku sendiri. Hingga
akhirnya aku jatuh sakit
dan harus terbaring di
rumah sakit yang bagiku
baunya sangat tidak enak.
Bayangan ayahku dan
nuansa lembut itu
perlahan-lahan
memudar. Aku mencari-
cari dan menajamkan
pandanganku, tetapi
percuma. Di hadapanku,
suasana berganti menjadi
demikian putih dan rapat
oleh kabut tebal yang
mengeluarkan hawa
dingin. Satu sosok laki-
laki dewasa tampak
berjalan menembus
kabut menuju padaku.
Tubuhnya jauh lebih
tinggi dariku. Dia
tersenyum dan
menggandeng tanganku.
Kulit tangannya terasa
begitu halus di telapakku.
Sambil mengajakku
untuk duduk, laki-laki itu
bercerita tentang langit
dan menyebut-nyebut
surga. Aku teringat pada
ayahku dan bertanya
kepada laki-laki di
sebelahku, "Apa ayahku
ada di sana?"
"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?"
tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana.
Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku
semangat.
"Kau terlebih dulu harus
bisa menghitung jumlah
langit itu. Kalau tidak, kau
tidak akan bisa sampai ke
tempat ayahmu. Karena
kau akan tersesat."
"Kalau begitu lupakan!
Aku tidak mau
menghitung. Aku benci
angka-angka!" aku
berteriak.
"Di langit, kau juga bisa
menghitung bintang-
bintang."
"Aku tidak mau
menghitung langit atau
apa pun."
"Percayalah, kau akan
menyukainya."
"Untuk apa aku
menghitung bintang-
bintang?"
"Mungkin di sana
ayahmu juga sedang
menghitung bintang-
bintang."
"Benarkah?"
Laki-laki itu mengangguk.
Aku memeluknya tanpa
ragu-ragu. Suasana
begitu hening
mengurung kami berdua.
Aku menyandarkan
kepalaku ke dada laki-laki
itu. Tidak ada suara apa
pun di tempat ini, kecuali
detak jantungku sendiri.
Degup yang sudah cukup
lama ini terasa sangat
lemah. Aku menikmati
detak jantungku yang
menjelma nada indah
tersendiri bagiku.
"Apa kita bisa
menghitung suara ini?"
kataku menunjuk bunyi
jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah.
Akan sangat
menyenangkan kalau kita
menghitung sesuatu
yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu
berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti,
kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga,
seperti ayahku?
Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku
bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini
berhenti berbunyi,"
kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih
jika kau
meninggalkannya,"
jawab laki-laki itu.
"Jangan beritahu ibuku
kalau aku mati. Berjanjilah
untuk diam. Seperti yang
dilakukan ibu padaku
dulu, ketika ayah
meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan
temanmu, Ramadhani?"
Aku terhenyak.
Ramadhani? Ah, aku
melupakannya. Apa aku
tega meninggalkannya
begitu saja?
Tapi �bukankah aku
sudah mengatakan hal ini
kepadanya dulu, di
satuan waktu yang lain?
Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan
mengatakan pada laki-laki
itu bahwa Ramadhani
akan baik-baik saja jika
harus kutinggalkan, tetapi
dia telah lenyap dari
pandanganku. Aku tidak
lagi berada dalam
pelukannya. Suasana
yang putih berkabut kini
berganti dengan taman
yang sangat indah dan
penuh bunga. Aroma
wangi dari kelopak-
kelopak yang bermekaran
memenuhi tempat yang
belum pernah sekalipun
kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku
kembali melihat sosok
ayahku berdiri sendiri.
Kali ini dia menatap ke
arahku dan tersenyum.
Aku membalas
senyumannya dengan
berjalan menujunya.
Tetapi pandanganku
mendadak mengabur.
Aku berjalan terus
sampai semuanya
semakin tak terlihat
olehku. Aku
menghentikan langkahku
dengan rasa kecewa.
Aku teringat pada teman
kecilku. Ramadhani, kalau
setelah ini aku harus
pergi, maka semua yang
kulihat barusan akan
menjadi satu mimpi
terindah sebelum matiku.
Kataku dalam hati.
AKU lihat kau duduk di
samping pembaringanku.
Matamu teduh tetapi
berkaca-kaca. Ruangan
rumah sakit ini lebih
tampak seperti kamar
mayat. Dingin, sepi, dan
jiwa-jiwa yang beku. Aku
masih tertidur. Sesekali
berteriak menyapamu,
tetapi kau tak
mendengarku. Mimpi
yang kulihat masih tersisa
dengan kaburnya. Kau
takkan percaya,
Ramadhani, aku bertemu
ayahku dalam mimpiku.
Aku teringat dunia yang
lain. Waktu kau,
Ramadhani, menciumi
bibirku ketika aku bicara
tentang mati. Tapi kini
kau tampak sedikit
berbeda. Wajahmu
terlihat sangat ketakutan
seolah sedang menonton
opera kematian. Dan, ah,
Ramadhani, lihat! Ayahku
datang lagi. Mimpiku jelas
kembali. Dengan cepat
aku menenggelamkan diri
di gambaran mimpiku.
Di belakangku, ayahku
merentangkan tangannya
untukku. Dadaku penuh
rasa rindu yang tak
tertawar lagi. Dan �di arah
yang berlawanan, "Hei,
itu kau, Ramadhani. Kau
juga di sini?" tanyaku.
Tapi kau diam. Kaku. Tak
lama kemudian kau
memanggil namaku
dengan sangat pelan.
Nyaris tak terdengar
olehku. Sebenarnya kau
mau aku datang padamu
atau tidak?
Aku tak bisa memilih.
Antara ayahku dan kau,
dalam mimpiku. Napasku
sudah total terengah-
engah. Ini melelahkan,
Ramadhani. Tetapi juga
menyenangkan.
Pengalaman unik yang
tak bisa sembarangan
diceritakan. Aku yakin
sekali ini jauh lebih
menarik daripada
menghitung langit atau
bintang.
Kemudian semua
terpastikan. Seseorang di
atas kepalaku, menarik
sesuatu dari tubuhku.
Ada yang terlepas
dengan begitu lekas.
Sangat cepat, tetapi
sempat membuatku
tercekat.
Aku lupa semua
mimpiku. Tiba-tiba
ayahku sudah
memelukku dengan
eratnya. Sementara kau
menangis di pelukan
ibuku, di ujung
pembaringanku. Dokter
mencabut selang infusku.
Aku berteriak untukmu,
"Aku akan merindukan
ciumanmu, Ramadhani."
Tapi lagi-lagi kau tak
dapat mendengarku,
melainkan hanya terus
menangis. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar