Entri Populer

Rabu, 29 Desember 2010

Perempuan LangitCerpen Saroni Asikin

AKU belum merelakanmu
pergi malam ini,
Perempuan. Aku tahu
kau akan kembali ke langit
pada saat bulan gerhana
dan orang-orang
kampung menabuhi
segala logam dan besi.
Ahai, begitu memang
kesepakatan yang kita
buat, Perempuan Langit.
Tapi tidak malam ini!
Tidak gerhana bulan ini
kali! Aku berhak
memaksamu tetap
tinggal. Serumah dan
seranjang bersamaku
terus. Seperti telah sekian
purnama kita lewati.
Bersekasih. Aku sudah
telanjur jatuh cinta
kepadamu. Kau pergi aku
merana. Aku mati.
Aku tahu kau juga
menikmati saat-saat kita
bercintaan. Mau bukti?
Rayuanku selalu
membuat matamu yang
selalu berkejap-kejap.
Syahwatmu pun begitu
menggelora. Seperti
gelombang. Atau
buncahan lahar. Deru
kuda binal. Sering
membuatku terlempar
dan terkapar seperti ikan
di pasir panas. Jangan
kau pungkiri, Puan! Kau
tak bisa pergi selagi
masih bisa kaunikmati
kebersamaan kita. Selagi
sebenarnya hatimu pun
bisa tersentuh oleh
pesona kelelakianku.
Aha, jangan kau bilang
makhluk langit sepertimu
tak punya hati. Bolehlah
kau tak tercipta dari
daging serupa dagingku
darah serupa darahku.
Tapi kau datang persis
seperti semua
perempuan yang pernah
bercinta denganku.
Perempuan dari daging
serupa dagingku dan
darah serupa darahku.
Ingat bagaimana kukuku
menggores lengan kirimu
ketika kita bercinta suatu
malam? Ada tetes darah.
Hop! Jangan kau pungkiri
darah perawanmu setiap
habis bersetubuh. Itu
juga keistimewaanmu.
Selalu perawan. Kau
memang perawan abadi.
Dan malam ini, mana ada
orang masih tahu cara
memukul logam dan besi
ketika bulan gerhana tiba?
Bahkan mungkin mereka
tak tahu sekarang ini
bulan sedang dilahap
Sang Kala yang sakral
buatmu.
Sorry, Perempuan Langit,
terpaksa harus kuakui
betapa dulu aku telah
begitu licik
memerdayamu. Baiklah,
perlu aku ingatkan
kembali awal perjumpaan
dan kesepakatan kita.
Meskipun aku tahu kau
pasti mengingatnya.
Ya! Malam itu, sekian
purnama yang lalu, aku
tengah duduk di sebuah
bangku taman kota.
Gelisah menunggu
seorang perempuan
yang telah berkali-kali
menggodaku lewat SMS:
tunggulah aku di taman
kota, kekasih. Tak perlu
kusebut namanya. Sedikit
saja kuberi tahu, dia
selalu memakai anting-
anting panjang yang lebih
sering kuumpati dengan
sebutan ''si panjang
kuping''.
Perempuan itu memang
telah kurang ajar
mengganggu kesukaanku
minum dan menikmati
Top's 40 di sebuah pub.
Aku sudah diamuk
mabuk beberapa gelas
Cassanova ketika
ponselku mengerik. Itu
SMS ketujuhbelas kukira,
sejak aku mulai masuk
pub, dalam kalimat yang
sama. Tak tahu kenapa
aku bangkit dari kursi dan
menuju taman kota.
Padahal aku telah request
lagu ''Asereje''. Kau tak
pernah tahu hatiku selalu
berdebur-debur karena
membayangkan bisa
bercinta dengan para
penyanyi Las Ketchups
itu. Dan SMS sialan itu
membuatku harus
melupakan hatiku yang
akan berdebur-debur.
Di taman itu, aku tahu si
panjang kuping pasti tak
akan datang. Aku telah
tahu tabiatnya. Dia hanya
suka menggoda. Sesekali
memang memerdayaku
seperti beludak. Sialnya,
aku pun suka menjilati
bisa dari lidahnya. Racun
dari rongga mulutnya
selalu kurasakan sangat
segar di dalam mulutku.
Bahkan ketika berciuman
dengannya, aku tak
peduli apabila kemudian
darahku tercemar racun
dan membuat busuk
jantungku.
Langit begitu cerah dalam
purnama dan mata
mabukku. Mendadak
seperti ada bagian langit
yang terbelah
membuncahkan sinar
benderang. Ya, Puan, itu
kau, turun dalam jubah
putih terselubung
benderang muncul dari
bongkahan langit itu.
Sesaat kulihat ada
kepakan sayap di
belakang punggungmu.
Belum sempat menarik
napas kau telah berada di
depanku. Tapi aku tidak
terkejut. Bahkan aku
segera mengamati
telingamu. Tak kujumpai
anting-anting panjang.
Siapa tahu kau jelmaan
perempuan iseng yang
memang sedang
kutunggu itu.
Bukan, perempuan iseng
itu tidak bersayap
sepertimu. Aha, kau
datang dari bongkahan
langit dalam jubah putih
berselubung benderang
dengan dua sayap di
punggungmu, maka
pasti kau malaikat
perempuan cantik.
Setahuku makhluk seperti
itu malaikat. Kau
memandangiku takut-
takut. Kita saling
bergeming. Tanpa kata-
kata. Lalu pikiranku
melesat ke sebuah cerita:
Nawangwulan. Ah, ya,
kau bidadari, pasti itu!
Dan pasti kau tersesat!
Begitu saja lalu kutawari
kau untuk tinggal
bersamaku. Ide gila yang
mendadak muncul dan
gilanya kau tak bisa
mengatakan ''tidak''.
Tapi rupanya kau ingin
bikin kesepakatan. Kau
bilang ketika itu,
''Bolehlah! Aku bisa
tinggal bersamamu asal
aku boleh kembali pada
saat bulan gerhana dan
orang menabuhi logam
dan besi. Karena pada
saat itu, ada bagian langit
yang terbongkah dan aku
bisa kembali lewat situ.''
Aku tentu saja setuju.
Kusebut kau Perempuan
Langit. Kelicikanku sudah
kumulai ketika itu. Aku
terima syaratmu. Aku
tahu, aku akan
memilikimu selamanya.
Tak akan ada lagi orang
menabuhi segala logam
dan besi pengusir bulan
gerhana, sayang... Cerita
dari negerimu mengenai
kebiasaan orang di
bumiku yang menabuhi
segala logam dan besi
sembari menyerukan
nama Batara Kala itu telah
usang. Kau seolah-olah
memang datang dari
sejarah silam. Bumi telah
banyak berubah, Kekasih.
Ataukah memang
sebenarnya di negerimu
tak ada gerak, tak ada
waktu yang berputar
karena si Kala Anak Jadah
Siwa-Durga itu telah jadi
patung?
Sudah kuingatkan,
bukan? Dan masih berniat
pergi? Itu berarti kau
mengingkari kesepakatan
kita. Makhluk langit
macam apa yang khianat
pada janjinya? Sekali lagi,
ya sekali lagi, tak ada
orang menabuhi logam
dan besi pengusir
gerhana, sayang... Itu
berarti kemenangan
buatku, bukan?
Kemenangan seorang
pecinta yang kuakui
berawal dari kelicikan dan
kejengkelan menunggu
perempuan iseng
beranting-anting
panjang....
***
PEREMPUAN Langit itu
menderukan tangis di
bibir ranjang. Aku benci
perempuan yang
cengeng. Muncul
isengku. Kuambil kedua
sayapnya yang sekian
purnama kusimpan di
almari. Itu juga bagian
kelicikanku. Pada saat dia
bersedih karena tak
mungkin bisa kembali ke
langit, aku malah
menggodanya. Lelaki
pecinta macam apa aku?
Shit! Boleh jadi aku bukan
orang yang mencintai
perempuan itu. Aku
cuma orang yang
posesif. Aku hanya ingin
menguasai dia. Merasa
bangga memiliki
seutuhnya seorang
bidadari dari langit.
''Ini kedua sayapmu!
Kalau mau pergi, pergi
saja, Perempuan Langit
laknat! Kau pikir lelaki bisa
menderita hanya karena
rasa cintanya
tersebratkan? Kau keliru,
Makhluk Langit keparat!
Pergi saja!''
Itu mulutku! Mulut licik
yang mungkin telah
teracuni bisa ular beludak
yang seolah-olah terjulur
dari lidah perempuan
beranting-anting panjang
itu. Padahal, ketika
mulutku mengumpat
dalam bahasa cabul itu,
ada tusukan di hatiku.
Pada hakikatnya, aku
sungguh mencintainya
dan akan merana bila dia
jadi kembali ke langitnya.
Tapi tak mungkinkah
pecinta tak bisa meliciki
yang dicintai?
Dia makin menderukan
tangis. Aku bertambah
benci. Serupa
kebencianku ketika
mendengar lagu cabul
penyanyi dangdut
murahan. Amarahku
mendadak lahir.
''Aku bisa membuatmu
mati kalau aku mau.
Sayapmu akan kulempar
ke tungku. Kau pernah
membuka rahasiamu
tentang itu. Ingat kau?
Kau bilang kau akan mati
kalau sayapmu kubakar.
Tapi tidak, Puan! Cintaku
padamu sejauh negeri
langitmu yang entah itu.
Tak mungkin kulakukan
itu. Sebab, aku pun akan
merana dan mungkin
mati juga.''
Maka kulempar saja
kedua sayap ke
mukanya. Tangisnya
semakin menderu.
Kebencianku semakin
menggubal. Ingin
kupukul kepalanya atau
kutampar saja pipinya
atau kubekap mulutnya.
Tak mungkin itu! Seorang
pecinta sejati tak mungkin
menyakiti orang yang
dicintai, selicik dan
sebeludak apa pun aku
yang telah sekian lama
minum dari bisa
perempuan beranting-
anting panjang itu.
''Pergilah! Kau tak perlu
memikirkan kesepakatan
kita. Atau, kau ingin aku
menabuhi logam dan
besi?''
Aku berlari ke dapur.
Dengan marah kutabuhi
apa saja yang kujumpai:
wajan, panci, kompor...
Lalu berlari keluar dan
menjumpai gerhana
bulan telah selesai.
Kutinggalkan Perempuan
Langit yang masih
menderukan tangis. Aku
tak ingin kembali ke
rumahku. Semoga pub
masih buka saat itu dan
aku bisa menenggak
Cassanova. Syukurlah
apabila perempuan
beranting-anting panjang
itu benar-benar ada di
sana dan itu berarti aku
akan mereguk
kenikmatan racun-
bisanya yang telah sekian
purnama tak lagi
mengharu-biru aku.
***
DIA memang ada di pub
itu. Dia tengah menyanyi
ketika aku memesan
Cassanova. Sekilas
matanya licik mengerling
padaku ketika mulutnya
menggumamkan ''Cry
me a River''. Tak jelek
suaranya. Meskipun tentu
saja tak sebagus Diana
Krall. Kutenggak gelas
pertamaku. Mendadak
ada gairah meletup-letup.
Pasti seusai lagu itu dia
akan melantunkan
''Besame Mucho''.
Ciumlah, ya ciumlah aku
sebanyak-banyaknya,
selalu, setiap saat, pasti
itu yang dia kehendaki!
Aku tersenyum pahit.
Kembali terbayang lidah
penuh bisa itu menjilati
rongga mulut dan bertaut
lama dengan lidahku. Ah,
akhirnya aku harus
kembali padanya karena
Perempuan Langit itu
mungkin saat ini sudah
terbang kembali ke
negerinya.
Persetan! Aku ingin
Cassanova ini cukup
membuatku melupakan
perempuan yang kali
pertama kujumpai dalam
jubah putih
berselubungkan
benderang. Kutenggak
gelas kedua. Kutuang lagi.
Gelas ketiga. Keempat.
Kelima dan ingin beranjak
ke panggung ketika
akhirnya ''Besame
Mucho'' keluar juga dari
mulutnya. Lidahnya
menjulur ke arahku
sembari bernyanyi. Tapi
aku sudah mabuk dan
mungkin aku tertidur
cukup lama di meja pub
itu.
***
REKAH subuh 800 tahun
kemudian, aku
terbangun. Aku pulang ke
rumahku. Istriku tengah
menyeterika bajuku ketika
kubuka pintu. Ia terbiasa
melakukan itu sembari
menyiapkan sarapan,
selalu pagi-pagi buta.
Tergopoh-gopoh dia
menyambutku dengan
manja. ''Dari mana saja
kamu, Sayang? Beberapa
jam ini aku
menunggumu dengan
cemas. Aku khawatir
perempuan beranting-
anting pajang itu kembali
memerdaya kamu.
Seusai kau pergi, dia
datang kemari dan
mencarimu. Kau tak lagi
menemuinya, bukan?''
Aku tak menjawab. Dia
tidak tahu, aku baru saja
kehilangan seorang
perempuan dari langit.
Beberapa saat kemudian,
aku mendengar suara
tangis dari dalam kamar.
''Siapa yang menangis di
dalam kamar?'' Istriku
terkejut dan menggeleng-
gelengkan kepala. ''Tak
ada suara tangis, kok.
Kamu mungkin terlalu
capai, Sayang...''
Tangisan itu masih
kudengar. Shit! Itu
tangisan Perempuan
Langitku! Bersigegas aku
ke kamar dan menjumpai
Perempuan Langit itu
tengah menangis
sembari memeluk kedua
sayapnya. Aku sunggu
benci tangisan. Kuhardik
dia, ''Kenapa tak jadi
pergi! Enyah saja! Cepat!''
teriakku.
Mungkin mendengar aku
berteriak-teriak, istriku
berteriak pula, ''Ada apa,
Sayang?''
Dia muncul di pintu
kamar dan seketika
kulihat wajahnya
memucat. Tiba-tiba dia
berteriak, ''Kamu kenapa?
Lo, lo, kenapa
punggungmu? Kenapa
ada sayap di
punggungmu itu?''

Tidak ada komentar:

Posting Komentar