Entri Populer

Rabu, 29 Desember 2010

Perempuan-perempuan Berjenger

Perempuan-perempuan
itu dijejerkan begitu saja.
Jumlahnya mungkin
sepuluh, mungkin lima
belas. Mereka menebar
geliat pandang gelisah.
Perempuan-perempuan
itu seperti dihempaskan
dari langit dan menjadi
perempuan-perempuan
tersesat. Kata orang,
mereka dijejerkan karena
suatu persamaan.
Semuanya adalah
perempuan berjengger.
Konon kabarnya jengger
adalah kutukan bagi
perempuan-perempuan
yang dilaknat.
Perempuan yang
melanggar etika
kesopanan. Perempuan
yang menjual kelaminnya
demi nasi dan lauk
pauknya. Karena itulah
mereka dijejerkan.
Mereka harus menerima
pengadilan. Mereka harus
menjawab pertanyaan-
pertanyaan.
Aku sendiri memupuk
kemarahan pada
perempuan-perempuan
berjengger. Bagiku
mereka memuakkan dan
sampah. Mereka tak
bekerja dengan bantalan
bahu dan blazer. Mereka
tak mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan
terhormat. Lihatnya
perempuan paling ujung.
Baju merahnya telah
kumal. Kain di kakinya
telah lusuh. Lidahnya
menggeliat-geliat basah,
siap memangsa jantan-
jantan yang datang.
Liatlah perempuan di
tengah-tengah. Baju
birunya berubah putih.
Dadanya turun naik
dengan tonjolan yang
digerak-gerakkan,
mengundang hasrat.
Lihatlah pula perempuan
di ujung, kain di atas
pahanya ia gerak-
gerakkan. Ia biarkan paha
itu terbuka dengan kain
yang berkibar-kibar.
Seorang laki-laki kekar
dengan badan berbulu
datang mendekat. Kedua
tangannya menenteng
gada juga pecut. Lima
laki-laki lain bergerak dari
kejauhan. Perempuan-
perempuan berjengger
terkurung diantara laki-
laki kekar. Kata orang,
mereka adalah para
penjagal yang datang
untuk bertanya atau
memecut para
pembangkang
�Hai perempuan satu,
katakan apakah engkau
berjengger! � si
perempuan pertama
hanya mengangguk
dengan acuh sambil terus
menjulur-julurkan
lidahnya.
�Mengapa kau
berjengger, telah berapa
batang yang kau peras? �
�Aku memeras sebanyak
yang kumau. Dan telah
kusebarkan jengger yang
kumiliki. Ha ha ha! � si
perempuan pertama
tertawa keras dan
terbahak-bahak.
Si lelaki kekar
memindahkan
langkahnya pada
perempuan kedua.
�Hai perempuan dua,
kaupun berjengger?�
Si Perempuan dua hanya
diam.
�Hai perempuan dua, kau
tidak tuli bukan. Apakah
engkau berjengger? �
�Kalau kau ingin tahu
lihatlah sendiri!� kata si
perempuan dua dengan
ketus. Aku memandang
si perempuan dua
dengan heran. Bumi
seperti dibalikkan begitu
saja, ketika aku melihat
wajahku di sana.
Mengapa perempuan ini
tak sama dengan sepuluh
perempuan lainnya. Yang
memakai baju-baju
kumal dengan belahan
dada rendah. Yang
bibirnya bergincu
blepotan hingga ke pipi.
Perempuan ini
mengenakan blazer dan
bantalan bahu. Dia
memakai blazer dan
bantalan bahu milikku.
Perempuan setan,
perempuan sampah.
�Jangan kira karena
bajumu, aku takkan
mencambukmu, atau
memotong lidahmu bila
kau tak menjawab! � si
penjagal kekar
menggelegar.
Si perempuan dua
mengkeret ketakutan.
Ketakutan kurasakan
memenuhi tempurung
kepalaku. Kuputuskan
untuk menganggukkan
kepala. Kusarankan si
perempuan dua untuk tak
melawan si penjagal.
�Bagaimana kau bisa
berjengger, pekerjaan
hina apa yang telah kau
kerjakan? �
�Aku tidak tahu, dia ada
begitu saja di kelaminku.�
kataku dengan suara
dibuat memelas.
Berharap ia mulai kasihan
padaku.
�Jangan bohong kau,
pelacur!�
�Aku bukan pelacur. Kau
lihatlah bajuku. Aku tidak
seperti mereka! �
�Jangan mencari alasan,
bagaimana kau bisa
berjengger bila bukan
pelacur! �
�Aku tidak bohong,
sungguh. Jangan laknat
aku tolonglah. Bebaskan
dan berikan
pengampunan. Aku akan
bakar jengger ini, kembali
menjadi perempuan
tanpa jenggger.
Percayalah aku tidak
berbohong, karena
semua orang pun
percaya padaku.
Janganlah menuduhku
dengan jengger di
kelaminku. Telah banyak
kulakukan hal-hal mulia.
Telah kutolong anjing
yang kuyup terluka oleh
hempasan mobil. Telah
kubagikan receh-receh
pada ratusan pengemis.
Aku pun telah membayar
lebih kepada supir-supir
taksi yang mengantarku
pulang. Telah
kusumbang ratusan juta
rupiah untuk anak-anak
terlantar agar mereka
bersekolah. Tentulah aku
perempuan terhormat.
Aku layak diampuni
karena aku bukan
perempuan berjengger
yang sama dengan yang
lain. Yang menjulur-
julurkan lidah dan
menggerakkan buah
dada. Aku bekerja
dengan blazer dan
bersepatu. Antara waktu
siang dan sore.
Kukerjakan pekerjaan-
pekerjaan terhormat! �
***
Ku dengar suara tawa
menggema di ruangan.
Entahkah aku memang
pernah mendengarnya.
Atau tawa itu terdengar
karena aku terlalu takut
untuk mendengarnya.
Suara tawa itu terdengar
saat mataku telah tertutup
rapat, saat suntikan bius
membuat otakku berhenti
memberi kabar. Saat
orang-orang berseragam
hijau mulai menjamahku
dari segala sudut. Aku
merasa tertipu. Mengapa
mereka tertawa saat aku
tak mampu lagi
menggerakkan tubuhku,
atau memerintah bibirku
untuk bicara. Apakah
mereka hanya tak ingin
membuatku malu atau
sebaliknya ingin berbisik-
bisik di belakang.
Brengsek.
Andai saja tak terlalu
banyak orang di ruangan
ini yang membuat
mereka bisa saling
bergunjing. Aku ingin
mereka tuli juga bisu.
Aku ingin mereka tak
berlidah bila mungkin tak
berotak. Agar mereka tak
bisa mentertawakanku
meskipun di dalam benak.
�Sudah selesai Bu!�
sebuah kalimat yang
diucapkan lembut
membangunkanku.
Kurasakan tubuhku telah
berselimut dan tidur
diantara jejeran pasien
lain. Senyum para
perawat terasa seringai.
Betulkah mereka
tersenyum dengan tulus
untukku.
Kuusahakan sesedikit
mungkin bicara. Juga
menjawab pertanyaan.
Ingin kuatur kata-kata
yang bakal ke luar dari
mulut para perawat itu.
Dan memastikan mereka
berhenti menyeringai.
Memang yang ke luar
dari lidah mereka kata-
kata lembut, juga
senyum ramah. Apakah
mereka telah begitu
terlatih tak menunjukkan
pergunjingan, meskipun
hanya dalam benak.
�Itunya sakit!� seorang
perawat mendatangiku
dan bertanya dengan
suara lembut juga. Tidak
lupa tersenyum. Namun
sekali lagi terlihat seperti
seringai.
�Dikit.!� kataku lembut
sambil tersenyum
ramah. Perawat itu harus
tahu aku memang
perempuan baik-baik.
�Kepalanya masih pusing?
� katanya lagi sambil
tersenyum atau
menyeringai.
�Udah nggak!� jawabku
lagi tak kalah lembut.
Setelah pertanyaannya
terjawab, perawat itu
berlalu sambil sekali lagi
tersenyum atau
menyeringai. Aku hanya
dapat menarik nafas lega.
Perawat terakhir ini sudah
bertanya dengan kalimat
yang membuat
jantungku berlari
kencang. Ingin
kukerahkan semua
kekuatan agar aku bisa
menatap matanya, dan
mengatur isi kepala si
perawat. Juga semua
perawat. Juga semua
pasien yang ada di
ruangan ini. Agar tak ke
luar kata ejeken di bibir
atau tertawaan di
belakang. Aku tidak mau
mengetahuinya
walaupun hanya dalam
sorot mata. Sialan.
Mengapa jengger ini tetap
membawa masalah
bahkan saat ia telah
dibakar, dibabat dan
dimusnahkan.
***
Negeri ini sedang dilanda
wabah. Begitu kabar
yang berhembus akhir-
akhir ini. Jengger
menebar begitu mudah.
Jengger bisa diterbangkan
angin dan menempel
begitu saja. Ia menempel
tanpa memandang waktu
atau orang. Kabarnya
seorang penyihir
perempuan yang
mendendamlah biang
keladi wabah ini. Ia
kirimkan jengger pada
sebanyak mungkin
perempuan agar ia tak
lagi sendirian.
Si perempuan pembawa
kabar bertanya balik
padaku, mengapa
kutanyakan tentang
jengger. Dengan
berbohong kukatakan,
aku banyak mendengar
kabar tentang jengger.
Cerita ini telah menjadi
gosip yang dibicarakan
diam-diam.
Sebetulnya bukan itu, aku
hanya mencoba mencari
tahu darimana jengger ini
berasal. Apakah ia berasal
dari lelaki kegelapan yang
tiba-tiba membekapku di
sebuah gang. Atau ia
terbang bersama kutu
yang suka menempel di
toilet-toilet umum. Atau
barangkali dokter kulit
kelaminlah yang telah
menempelkannya saat
aku lengah. Saat aku
menyuruhnya
menyembuhkan penyakit
keputihan yang
menggangguku.
Aku berasal dari jaringan
putih, barangkali jaringan
yang paling putih.
Mungkin sedikit abu-abu,
namun kata orang masih
wajar. Jaringan seputih
ini, sangat anti dengan
wabah yang bernama
jengger. Semua orang
telah tahu itu. Semua
orang telah percaya itu.
Dokter saja heran
bagaimana jengger bisa
menempel di jaringan
putih ini. Analisanya,
barangkali ada jengger
yang telah bermutasi
hingga bisa hidup di
segala musim juga segala
jaringan.
***
Perempuan-perempuan
itu dijejerkan begitu saja.
Jumlah mereka mungkin
sepuluh atau lima belas.
Dari mulut mereka yang
berdenging ke luar sabda-
sabda. Sumpah serapah
menjulur dari lidah yang
membentuk huruf
melingkar-lingkar.
Perempuan-perempuan
itu bersepatu mengkilap.
Celana panjang menutup
mata kaki. Rambut
disasak atau di-blow ke
belakang. Yang jelas
mereka mengenakan
blazer dan bantalan bahu.
Mereka bergincu tipis
sewarna bibir. Alis tipis
sewarna alis. Perona pipi
tipis sewarna pipi. Tapi
mereka meneriakkan
teriakan-teriakan garang.
Mulut mereka
membentuk bulatan,
trapesium, persegi
panjang atau kubus.
Perempuan-perempuan
itu rupanya berdiri
berhadapan dengan
gerombolan perempuan-
perempuan berjengger.
Kemanakah para penjagal
kekar yang tadi
meneriakkan ancaman-
ancaman. Kemana
gerombolan laki-laki
garang pembawa pecut
dan gada itu.
Kumpulan perempuan
berjengger masih dengan
pakaian kumal yang
semakin kumal. Warna-
warnanya telah berganti
warna baru, yang
barangkali belum sempat
dinamai oleh para
ilmuwan. Rambut keriting
kusut ditambah sorot
mata sayu. Senyum
hanya di ujung bibir
mirip mencibir. Tangan di
pinggang berkacak
menantang. Sementara
lidah masih menjulur-
julur, liur masih menetes-
netes, paha dan dada
masih mengangkang
menantang.
Aku mengerti mengapa
perempuan-perempuan
itu dijejerkan. Aku tahu
dimana tempatku berada.
Aku segera bergerak ke
arah barisan yang
kumau. Posisiku baru
kelihatan jelas saat aku
sampai pada langkah ke
sepuluh. Langkah
kesebelas terasa semakin
berat dan membuat kaki-
kakiku terpaku. Tiba-tiba
sebuah tangan, atau
barangkali belalai gajah
menarik tubuhku dan
menghempaskannya.
Tubuhku menabrak
tubuh-tubuh para
perempuan berjengger.
Sebuah sosok
menjulang, mungkin
monster menatapku
dengan garang.
�Jangan coba-coba
macam-macam,
perempuan jengger!�
Aku mengkeret takut.
�Di sini tempatmu!�
monster itu berbicara lagi.
�Me..nga..pa!� hanya
sepatah kalimat itu yang
ke luar dari mulutku yang
bergetar
�Karena di kelaminmu
ada jengger. Kau mau
mungkir? �
�Sudah tidak ada lagi
bukan?� kataku hati-hati.
�Tempatmu sudah jelas,
kau tak bisa berpindah-
pindah.! �
Aku hanya dapat
mengikuti kemauan si
monster. Si monster ini
tentu sulit diajak bicara
panjang lebar. Ia takkan
cukup sabar menunggu
cerita-ceritaku. Bahwa
aku berasal dari jaringan
paling putih. Bahwa aku
menyimpan antibodi
untuk segala jenis
jengger. Ia pun takkan
mendengar bila dokter
pun menyatakan
keheranan. Ia juga takkan
peduli jengger ini
barangkali jenis yang
telah bermutasi. Tubuh
besar menyeramkannya
itu hanya sanggup
mencerna kebenaran
tunggal. Baginya sia-sia
ceritaku. Barangkali
karena iapun jenis
mahluk yang telah
bermutasi. Biarlah
kuturuti apa yang ia mau.
Hanya kepadamu cerita
ini kuperdengarkan.
Karena kamu yang
mungkin mengerti
posisiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar