Entri Populer

Rabu, 29 Desember 2010

Sang TerkutukCerpen Hermawan Aksan

TIUPAN angin lirih dari
arah Hutan Saptarengga
yang membawa harum
cempaka dan kemudian
menyingkapkan kainmu,
Dinda, sehingga
memperlihatkan putih
betismu - betis terindah
di mayapada -
membuatku sekali lagi
harus mati-matian
menahan gelegak cinta.
Sepanjang hayatku, aku
mampu menghadapi
sesakti apa pun ajian
serta pusaka. Namun,
menghadapi
kecantikanmu, aku selalu
terkapar tak berdaya apa-
apa.
Derita apalagi yang lebih
berat daripada tidak bisa
mengecap cinta justru
dari kekasih yang setiap
hari mengiringi?
Oh, Putri Mandaraka,
apalah arti nyawa
dibandingkan dengan
cinta yang kudamba
sepanjang masa.
Penaklukan-
penaklukanku, boleh jadi,
menjadi sekadar darma
yang harus kujalani
sebagai seorang ksatria
yang menggenggam
berbagai pusaka. Telah
kulakoni semua kisah
yang diguratkan semesta.
Namun, mungkin tak ada
yang tahu, sepak
terjangku sesungguhnya
semata-mata
pelampiasan berahiku
yang tak pernah bisa
menemukan muara.
Kau tahu, bahkan
semenjak baru lahir ke
jagat ini, aku harus
memikul sebuah
kemustahilan. Sebagai
bayi merah, aku mesti
menghadapi Maharaja
Negeri Kiskenda,
Nagapaya yang perkasa,
yang ayahku, Kresna
Dwipayana, bahkan para
dewa, pun tak sanggup
menaklukkannya! Aku tak
tahu logika jagat raya,
tetapi aku berhasil
menjadi sang pemenang
dan kemudian
beranugerah pusaka sakti
Hrudadali, minyak tala,
dan gelar Dewanata.
Darma ksatria pulalah
tentu yang membawaku
mengikuti sayembara di
Negeri Mandura. Sebagai
calon pemegang takhta,
aku harus memiliki
wanita utama untuk
menjadi belahan jiwa.
Sayang, aku terlambat
dan putri Mandura telah
diboyong ksatria
bernama Narasoma.
Namun, untunglah
bagiku, dan malanglah
baginya, justru
kesombongannyalah
yang membuatku
memiliki kesempatan
menjadi peserta terakhir
sayembara.
"He ksatria, meski sudah
kumenangi sayembara,
aku justru menantangmu
beradu senjata," kata
ksatria Mandaraka itu.
"Kulayani tantanganmu."
Belum sepuluh jurus aku
bisa mengalahkannya
dan berhak atas putri
Mandura yang jelita. Ia
bahkan rela menyerahkan
adik perempuannya,
engkaulah Dinda, putri
yang tak kalah jelita.
Dan, kalau saja aku mau,
bisa saja aku memiliki
untukku sendiri Gendari,
putri Plasajenar yang
berparas cantik bersinar,
yang diserahkan sang
kakak Sakuni sebagai
tanda takluk setelah
mencoba merebut
engkau dan ayundamu
dari tanganku. Gendari
kuserahkan kepada
kakakku karena aku toh
merasa lebih dari cukup
memiliki engkau dan
ayundamu.
Namun darma demi
darma, pertempuran
demi pertempuran, kisah
demi kisah, membuatku
tak juga bisa memadu
cinta dengan dua putri
terkasih. Kau tahu, demi
kedigdayaan negara, aku
mesti menaklukkan
Magada, Mantili, Kasi
Sumba, Pundra, dan lain-
lain. Aku bahkan tak bisa
menolak setiap
permohonan
pertolongan. Melihat
Prabu Basudewa yang
dirongrong Gorawangsa,
misalnya, tentu aku tak
bisa melepas tangan dan
memalingkan muka. Aku
juga tak bisa berdiam diri
ketika kesucian Kaendran
diacak-acak Kalaruci.
Di tanganku, negeri ini
menjelma menjadi
rembulan yang
menyinari angkasa raya,
yang cahayanya terus
memancar sepanjang
masa. Negeri-negeri
tetangga berbondong
untuk menjalin
persahabatan yang abadi.
Rakyat aman dan
sejahtera karena tak ada
yang berani
mengganggu
ketenteraman negeri.
Namun, apalah arti
semua itu kalau aku
belum juga mengecap
setetes pun kebahagiaan
cinta? Bayangkan,
bertahun-tahun aku
harus mengekang diri
dari segala berahi,
sementara setiap malam
di sebelah kananku
berbaring ayundamu dan
di sebelah kiriku engkau,
oh, dua putri dengan
kecantikan dan
kemolekan tiada
bandingan di negeri ini,
bahkan mungkin di jagat
ini!
Semua hanya karena
kutukan yang tak pernah
bisa kupahami. Apa yang
telah kuperbuat dalam
kehidupan-kehidupanku
sebelumnya?
Bahkan jauh sebelum
lahir, aku harus
menerima kutukan hanya
karena perilaku ibuku.
Entah karena merasa
bahwa ia masih istri raja
sebelumnya, entah juga
karena merasa terlalu
jelita dibandingkan
dengan ayahku yang
memang berwajah
buruk, dengan kulit muka
yang legam dan janggut
menjalar di sepanjang
dagunya, maka ketika
sampai pada puncak
persanggamaan, wajah
ibuku memucat seperti
kapas dan berpaling
untuk menghindari wajah
sang suami.
Maka lahirlah aku dengan
wajah pucat dan kepala
tengeng - meski orang-
orang tetap menilaiku
tampan.
Dan takkan bisa
kulupakan, Dinda,
peristiwa paling terkutuk
itu, peristiwa yang
membuatku selalu
terayun-ayun di antara
penyesalan dan
kemarahan. Aku, seorang
pemburu yang tak
terlawan, yang tak
pernah gagal setidaknya
membawa pulang seekor
menjangan, hari itu tak
menjumpai satu pun
hewan di hutan yang
biasa menjadi tempat
perburuan. Sudah
kujelajahi berbagai sudut
hutan, tapi yang
kudengar hanyalah desau
angin basah di antara
dedaunan. Ke mana para
penghuninya yang
biasanya mudah
kudapatkan, meskipun
bersembunyi di setiap
gerumbul perdu atau
pepohonan?
Bahkan hingga batas
rimba, aku hanya
menemui kesunyian
yang menggiriskan.
Ya, bagaimana mungkin
di rimba Tundalaya nan
perawan, yang pekat oleh
berbagai tetumbuhan, tak
kudengar bahkan
dengung serangga dan
kelepak burung kolika?
Atau, apakah ini bagian
kisah yang tengah
dituliskan oleh si
pemegang takdir
manusia? Takdir macam
apa yang harus lebih dulu
melalui jalan peristiwa
yang tak masuk akal?
Akhirnya aku bisa
melepas nafas lega ketika
kulihat sepasang kijang
justru di batas hutan.
Yang satu tengah
masyuk mengunyah
rumput, sedangkan yang
lain mengusap-usapkan
sepasang tanduknya
yang indah ke tubuh
pasangannya.
Aku tahu, dua kijang itu
tengah menjalin kasih.
Dan sesungguhnya aku
juga tahu, tak boleh
melepaskan senjata
terhadap makhluk yang
tengah memadu asmara.
Namun, ah, dalam sekian
detik itu aku khilaf,
barangkali oleh kepenatan
dan pertanyaan yang
bergulung-gulung di
kepala.
Kurentangkan busur dan
kubidikkan anak panah,
yang kemudian melesat
membelah udara dan
menembus tepat di
tengah leher kijang
jantan, menyemburkan
darah merah di kedua
lubang lukanya.
Kubiarkan sang betina
tunggang langgang
menembus kepekatan
rimba.
Dan aku kembali
diempaskan ke belantara
kesadaran ketika sang
kijang jantan yang tengah
meregang nyawa
menatapku melalui kedua
matanya yang muram.
"Oh, raja darah Barata,
apa dosa yang telah
kulakukan sehingga tanpa
sebab kau tega
melepaskan senjata?"
katanya terbata-bata.
Aku mencoba berkilah
bahwa tak ada benar atau
salah, suci atau dosa, di
antara pemburu dan
binatang buruan.
Bukankah yang ada
adalah kekuasaan?
Pemburu punya
wewenang untuk
memburu, dan binatang
punya wewenang untuk
menghindari bahaya.
"Kenapa engkau tidak
menghindar kalau tahu
ada ancaman?"
Sang kijang membakar
dadaku dengan sorot
matanya. "Oh, Sang
Prabu yang tengah
mengumbar amarah.
Benar, apa pun isi rimba
boleh engkau buru
sesuka hati. Itu memang
anugerah yang kita
terima. Namun engkau
pasti tahu kekecualiannya,
yakni jangan kauusik
mereka yang tengah
berkasih-kasihan
membangun
perkawinan, menikmati
keindahan cinta,
mencoba meneruskan
kelangsungan semesta.
Merpati yang saling
bercumbu di dahan
perdu, bahkan kupu-
kupu yang menjalin
asmara di langit biru.
Ketahuilah, saya
Kimindama yang tak
pernah berbuat dosa.
Karena itu, apa yang saya
ucapkan niscaya akan
menjelma nyata: mulai
hari ini, engkau tak dapat
memperoleh kemuliaan
cinta. Ajalmu akan datang
setiap kali engkau
berhasrat meraih
keindahan asmara."
Aku menjerit
mengungkapkan sesal
yang menggumpal.
Namun sang Kimindama
telanjur muksa, dan
kutukan itu harus kupikul
detik itu juga. Selamanya.
Dinda, meski terlampau
berat, mungkin
sebenarnya aku masih
akan sanggup
menyandang kutukan ini.
Bukankah aku bisa
mengheningkan batin
melalui tapa di berbagai
sudut gunung yang
sunyi? Di keheningan
seperti itu, aku bisa
memuja Sang Pemilik
Semesta, seraya
berharap bisa lepas dari
kutuk Kimindama.
Namun kau pasti bisa
merasakan, betapa
hancur hatiku - meski
atas nama takdir
sekalipun - bila
mengingat ayundamu,
melalui Ajian
Adityaredaya-nya, tiga
kali bercumbu dengan
tiga dewa berbeda, Batara
Darma, Batara Bayu, dan
Batara Indra, yang
memberinya Puntadewa,
Wrekodara, dan Janaka.
Oh, Dinda, bukan hanya
tiga kali, melainkan
empat. Bukankah
sebelum menjadi
permaisuriku, tatkala
masih menjadi bunga di
Negeri Mandura,
ayundamu pernah
menjalin asmara dengan
Batara Surya, yang
membuahkan putra
bernama Aradeya - yang
untuk menghilangkan
nista dan menjaga
lambang kesuciannya
terpaksa melahirkan
melalui telinga?
Dan kemudian, aku pun
harus menutup mata dan
mengunci lubang telinga
ketika kau, wanita yang
begitu kudamba, entah
demi memenuhi guratan
takdir entah ada alasan
lain, juga melalui Mantra
Adityaredaya yang
dibisikkan ayundamu,
memadu kasih dengan
sang dewa kembar,
Batara Aswin, yang
kemudian memberimu
putra kembar Nakula dan
Sadewa.
Lengkap sudah kepedihan
hati ini.
Memang benar, kalau
tidak begitu, aku tak akan
pernah punya keturunan.
Kehampaan hati seperti
apa yang bisa
mengalahkan kehampaan
hati seorang ksatria yang
tak punya siapa pun yang
akan diwarisi segalanya?
Siapa yang akan
melanjutkan trah Barata
demi kejayaan
Hastinapura?
Namun, aku hanyalah
manusia biasa, yang
belum juga memahami
mengapa takdirku tak
lebih dari kutukan demi
kutukan belaka.
***
Dinda, lihatlah lebah-lebah
yang mencari madu
mengerumuni bunga
asoka, dengarlah kicau
sepasang murai yang
bersahut-sahutan di
dahan-dahan pohon
parijatha, dan ciumlah
wangi teratai yang
sedang mengembang di
permukaan telaga.
Semua itu sungguh
membuat wajahmu kian
jelita.
Dan ah, embusan angin
yang harum itu lagi-lagi
menyibakkan kainmu,
memperlihatkan betismu
yang bercahaya,
menjadikan keindahan itu
makin sempurna.
Marilah, Dinda, jangan
ragu, aku sudah
memutuskan, aku rela
melepas nyawa dan
segala kemewahan dunia
demi setetes keindahan
cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar