Entri Populer

Jumat, 07 Januari 2011

BUNGA UNTUK BUNGA

Bunga untuk Bunga 
Penulis: Qizink La Aziva

Kerbek - Jakarta, Si botak berdiri, tangannya siap memeluk pundak Bunga, namun sebelum sampai, Bunga udah menyekal tangan si botak. Diplintirnya tangan si Botak. Si Botak meringis.


       SMU 12.

       Hari pertama sekolah. Bel berbunyi lima kali, pertanda waktu untuk pulang. Anak kelas 1F berjingkrakan kegirangan. 

       "Nga, kita pulangnya nanti saja," ucap Sulus pada Bunga.

       "Kenapa?"

       "Lo nggak tau apa, siswa STM 301 sedang nongkrong di pintu gerbang sekolah kita."

       "Terus hubungannya dengan kita?"

       "Kamu nih benar-benar tulalit deh. Udah tau kalo siswa STM tuh suka iseng, apalagi lo tuh punya wajah cakep. Pasti mereka akan mengganggu kamu!"

       "Cuekin aja!" ucap Bunga sambil terus berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Sulus mengikutinya dari belakang.

       Betul kata Sulus, di pintu gerbang nampak beberapa anak STM sedang duduk bergerombol.

       "Hai, pulang ya! Mau nggak aku antar." 

       Tiba-tiba salah satu dari siswa STM itu menyapa Bunga dan Sulus. Bunga menoleh kemudian tersenyum.

       "Alamak! Manis sekali senyumannya!" timpal siswa STM yang kepalanya botak.

       Bunga diam, begitu pun Sulus.

       "Koq diam aja, sariawan ya�" kali ini ucapan anak STM berbaju rompi.

       Bunga acuh, begitu pun Sulus.

       "Jangan-jangan mulutnya nggak ada giginya!" ledek si botak.

       Gelak tawa meledak dari mulut-mulut anak STM yang ada di dekat Bunga dan Sulus.

       Bunga mulai dongkol, matanya melotot pada si botak. 

       "Duh, segitunya. Galak amat say!"

       "Bokapnya macan kali!" kembali si botak meledek, "atau dukun santet.. hahaha.."

       Siswa STM kembali tertawa mendengar ledekan si botak pada Bunga. 

       "Udah puas lo pada mengumbar mulutmu yang usil!" ucap Bunga ketus.

       Habis sudah kesabaran Bunga.

       "Gue nggak pernah menyangka, bila ucapan lo tuh nggak ada mutunya sama sekali," omel Bunga.

       "Bahkan nyali lo nggak ada apa-apanya!" tambahnya lagi�

       Sulus nggak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Nekat benar Bunga menantang siswa STM.

       Si botak berdiri, tangannya siap memeluk pundak Bunga, namun sebelum sampai, Bunga udah menyekal tangan si botak. Diplintirnya tangan si Botak. Si Botak meringis.

       "Jangan macem-macem lo!" Ancam Bunga.

       Siswa STM geram. Bunga makin berani, dipelototinya satu-satu mata anak STM itu.

       Tujuh anak STM mulai berdiri mendekati Bunga, entah apa yang akan mereka lakukan pada Bunga dan Sulus.

       "Udah, Nga. Lebih baik kita pergi aja !" ajak Sulus ketakutan. "Nggak perlu diterusin! Percuma melawan orang yang nggak tahu seperti mereka�"

       "Nggak, biar mereka kapok!" tegas Bunga.

       "Tapi mereka tuh suka nekat," ucap Sulus. 

       "Gue nggak mau terjadi apa-apa dengan lo. Gue juga nggak suka diganggu�"

Bunga menatap Sulus, Sulus balas menatap.

       "Priok� Priok� " 

       "Cabut, Lus!" teriak Bunga sambil berlari menuju Bus kota. 

       Bus melaju meninggalkan siswa STM yang berlarian mengejar Bus yang ditumpangi Bunga dan Sulus.



Esok paginya siswa SMU 12 gempar. Beredar kabar kalau siswa STM 301 akan menyerang SMU 12. Sebagai pembalasan atas apa yang dilakukan Bunga kemarin. Bahkan beberapa guru pun mendengar berita yang sangat mengkhawatirkan tersebut. 

Tak berapa lama siswa STM datang. Jumlahnya cukup banyak, sekitar lima puluhan orang. Beberapa siswa pria bersiap-siap di pintu gerbang. Menghadang siswa STM. 

"Mana yang namanya Bunga." ucap salah satu siswa STM galak. 

"Mau apa dengan Bunga?" 

"Bukan urusan lo!" ucap siswa STM, yang tak lain adalah si rambut cepak. 

Siswa SMU 12 geram. Merasa diremehkan siswa STM. 

Tiba-tiba Bunga muncul. Penuh kepercayaan diri, dihadapinya siswa-siswa STM yang telah menunggunya. 

"Ada apa?" tanya Bunga ke siswa STM. 

"Kami�. Kami�..," si cepak berkata terbata. 

Tak ada lagi wajah garang di mukanya. Malah si cepak seperti orang kebingungan menghadapi Bunga. 

"Kenapa dengan kalian?" tanya Bunga lagi. 

"Kami cuma mau minta maaf ama lo!" Salah satu siswa STM menyela. 

"Lo memang benar, kelakuan kami selama ini nggak ada mutunya. Kelakuan kami nggak pantas buat kami yang disebut sebagai pelajar. Sekali lagi gue minta maaf sama lo, Nga!" 

"Kami salut ama lo, yang punya kepercayaan diri buat menjaga harga diri lo sendiri." Sambung yang lain. 

Siswa SMU 12 tersenyum. Bunga terkejut dengan apa yang barusan didengarnya. 

Si cepak maju ke arah Bunga, diulurkan tangan kanannya. "Maafin gue, Nga." Tulus sekali kedengarannya. "Ini bunga buat lo, sebagai tanda persahabatan kami buat lo," ucap si cepak seraya menyerahkan setangkai bunga mawar putih kepada Bunga. 

Bunga menerima uluran tangan dan bunga dari si cepak. Satu persatu siswa STM bersalaman dengan Bunga. saling berkenalan. 

Tak ada lagi dendam di hati mereka. 

Kini mereka dapat bercengkerama seolah tak pernah terjadi sesuatu yang menyakiti mereka. 

Bunga terharu, dua tetes airmatanya keluar membasahi pipinya. Bahagia sekali dia hari ini, menjalin persahabatan dengan orang-orang yang pernah kurang ajar padanya.

aku dan Ve

cuaca mendung pagi ini sama sekali tidak mematahkan semangatku untuk pergi ke sekolah. Mobil dan mang Kardi sudah siap di depan pintu sambil membawa payung. 

Sedangkan mama siap dengan bekal makan siangku. Asyiknya jadi anak tunggal. Segala sesuatu siap di depan mata. Minta apa saja ada dan tak perlu susah. Tiap hari antar-jemput pakai mobil pribadi, tak perlu takut terlambat. Maklum, papa adalah seorang kepala cabang sebuah bank swasta di kotaku ini. 

Mobil BMW keluaran terbaru tiba di depan pintu gerbang sekolahku tepat jam tujuh. Semua mata memandang ke arahku yang keluar dari mobil. Mereka seakan takjub padaku. Bagaimana tidak, aku termasuk anak paling kaya di sekolah ini, cantik, pintar, dan pacarku adalah pebasket paling cakep andalan sekolah. 

Aku melangkah ke kelas dengan langkah pasti. Rambutku yang panjang tergerai menyibak sebagian wajahku. Sahabat-sahabatku pasti sudah menungguku. Mereka menunggu ceritaku dengan Riko, pacarku itu. 

"Halo," sapaku sambil melempar tas ke atas meja dan duduk di antara sahabat-sahabatku.
"Duh, yang habis kencan, senengnya," sahut Riri.

"Cerita dong!" pinta Dani dengan semangat.
"Pokoknya, malam minggu pertama yang sangat berkesan buatku. Dia kasih aku sebuket bunga mawar merah dan Teddy Bear. Trus ada cokelat. Seru banget deh!" ucapku berapi-api memamerkan pacarku. Ya, pacarku yang baru seminggu jadian.

"Eh tuh, sang pangeran datang. Nggak disambut?" ledek Riri sambil mengerling padaku. Sehera kuhampiri Riko dan bergelayut mesra di pundaknya. 

"Aku ngumpul lagi ya sama mereka," ucapku sambil menunjuk Riri dan dani. Riko tersenyum manis. Pantas saja sebutannya cowok sejuta senyum maut. Segera kuhampiri Riri dan Dani yang bengong menikmati senyuman Riko.

"Udah dong ngeliatnya. Dia kan udah ada yang punya," ujarku dan segera beralih ke mejaku karena pak Tikno sudah ada di depan.
Rasanya puas sekali bisa membuat semua orang iri padaku. Menurutku, apa yang kupunya ini adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Di antara sahabat-sahabatku, akulah yang paling beruntung. Mempunyai orang tua yang berpikiran modern, sangat berkecukupan, dan semua mata memandangku. Apa lagi yang kurang?
***
Siang ini Riri dan Dani mendapatkan undangan spesial dariku. Nonton film sambil menikmati oleh-oleh papaku dari Singapura. Ketika masuk ke halaman rumahku, mereka sangat terheran-heran. 

"Jangan heran dulu," pikirku. Mereka belum melihat seluruhnya. Naik mobil mewah saja mungkin baru kali ini. Biasanya sih mereka naik angkot, kepanasan, kehujanan, berebutan. Duh, tak terbayang susahnya. 

"Ayo masuk!" ajakku. Riri dan Dani mengikutiku dari belakang.
"Siang Ma, ini teman-teman Ve. Yang ini namanya Dani, yang ini Riri."

"Sudah, cuci tangan dulu. Makan siangnya sudah mama siapin," kata mama.
Ayam goreng, sup, telur, cumi-cumi kesukaanku sudah tersaji di meja makan. Kurasa air liur mereka sudah tak tertahankan lagi. Lihat saja ketangkasan mereka mengambil sepotong ayam goreng. Seperti tak pernah makan ayam goreng saja. Mama sampai tersenyum melihatnya. 

Selesai makan siang aku mengajak mereka ke ruang sebelah. Kurasa ini pun pertama kalinya mereka melihat home theatre.
***
Tak terasa sudah jam empat sore. Badanku terasa capek sekali. Kulihat emak sedang mengupas bawang merah di depan dan menyiapkan bahan-bahan masakan yang akan dijual besok di warung dekat stasiun.

Melihatku, emak hanya geleng-geleng kepala. Tak biasanya aku pulang terlambat. Apalagi meninggalkan tugasku membantu emak.

"Dari mana saja kamu Dan? Emak sudah menunggu dari tadi. Kamu kok nggak pulang-pulang?" tanya emak.
"Dari perpustakaan Mak, baca-baca," jawabku kemudian menggantikannya mengupas bawang merah.

"Ke perpustakaan kok sampai sore? Apa nggak ada hari lain?" lanjutnya.
"Hm," desahku.

Hari yang melelahkan bagiku. Hampir seharian berada di perpustakaan daerah. Bukan untuk mencari buku, tapi melamun. Melamun yang berlebihan dan mengagumi rumah Ve yang sangat megah. 

Bayangan yang sangat jauh dari kehidupanku. Belum puas aku membayangkannya, perpustakaan sudah mau tutup. Dan aku harus segera pulang, teringat emak yang sudah tua memasak sendirian di dapur. Hilang sudah bayanganku jadi Ve. Jadi orang kaya, cantik, punya mobil mewah, punya pacar cakep.

Sambil mengupas bawang merah aku terus berpikir seandainya aku jadi Ve, pasti aku sudah sombong seperti bayanganku tadi siang. Lagipula bagaimana mungkin aku bisa menggantikan Ve yang sangat cantik, sederhana walaupun memiliki segalanya, pintar, dan pendiam. Seandainya aku menjadi Ve, aku pasti menjadi Ve yang lain. Sombong, angkuh, dan sok kaya. 

Untunglah aku bukan Ve. Aku tetap Dani yang harus naik angkot setiap berangkat sekolah. Aku hanya salah satu sahabat Ve. 

Tuhan memang adil. Menciptakan makhluknya berbeda-beda dan saling melengkapi seperti aku dan Ve. Dialah yang menopang biaya sekolahku. Dia sahabat terbaik yang pernah kumiliki.
"Maafkan aku Ve, aku telah membayangkan diriku menjadi dirimu."