Entri Populer

Rabu, 29 Desember 2010

Matahari Kecil Cerpen Zakaria Tame

ABU Fahd kembali pulang
ke rumah. Berjalan
perlahan, melenggang
enteng, melewati gang
sempit, diterangi cahaya
kekuning-kuningan dari
lampu yang berpendar.
Karena kesunyian yang
merajalela di sekeliling
mengimpit, kemudian dia
mulai bernyanyi dengan
suara lembut, "Merana
aku, di negeri ini!"
Saat itu hampir tengah
malam. Kegembiraan
Abu Fahd bangkit,
meluap-luap, dia sudah
meminum tiga gelas
arak. Kembali dia tertawa
dalam mabuknya:
"Merana Aku, di negeri
ini!"
Dia sadar suara seraknya
terdengar merdu, dan
memuji dirinya sendiri
dengan suara keras:
"Suaraku sangat merdu."
Dia membayangkan
orang-orang terkesima
melambaikan tangan
padanya, bersorak-sorai
dan bertepuk tangan. Dia
tertawa panjang,
kemudian menggeser
pecinya. Dia kembali
bernyanyi dengan riang:
"Merana Aku, di negeri
ini!"
Pakaiannya pantolan abu-
abu yang longgar dan
memakai sabuk kuning
tua yang melingkar di
pinggangnya. Sesampai
di bawah lengkung
jembatan, tempat
kegelapan mengalahkan
cahaya, dia dikejutkan
oleh domba hitam yang
menghadap ke dinding.
Dia membuka mulutnya
karena terkejut dan
berkata pada dirinya
sendiri: "Aku tidak
mabuk. Lihat baik-baik,
teman, apa yang kamu
lihat? Ini seekor domba.
Dimana pemiliknya?"
Dia melihat ke sekeliling
tapi tak menemukan
siapa pun-lorong
sepenuhnya sepi.
Kemudian, dia kembali
menatap domba, berkata
pada dirinya sendiri:
"Apakah aku mabuk?"
Dia tertawa pelan dan
berkata sendiri: "Allah
Maha Pemurah, Dia tahu
bahwa Abu Fahd dan
Umi Fahd belum makan
daging selama
seminggu." Abu Fahd
mendekati domba itu dan
mencoba memaksanya
untuk berjalan dengan
mendorongnya, tetapi
domba itu tetap diam.
Abu Fahd memegang
kedua tanduknya yang
kecil dan menyentaknya,
tetapi domba tetap saja
berdiri menghadap
dinding. Abu Fahd
memandangnya dengan
ramah, kemudian berkata:
"Aku akan membawamu
pergi, ibumu dan
bapakmu juga."
Abu Fahd mengangkat
domba itu dan
memanggulnya, keempat
kakinya digenggamnya
erat-erat, kemudian dia
menemukan
perjalanannya sambil
bernyanyi, kegembiraan
makan besar.
Tak lama kemudian dia
berhenti bernyanyi, sadar
domba itu membesar
dan makin berat.
Mendadak dia mendengar
suara: "Lepaskan Aku."
Dahi Abu fahd berkerut
dan berkata pada dirinya:
"Mungkin Allah mengutuk
pemabuk." Setelah
beberapa saat dia
mendengar lagi suara
yang sama: "Lepaskan
Aku, Aku bukan domba."
Abu Fahd gemetar dan
teror itu memaksanya
untuk memegang domba
lebih erat. Dia tiba di
sebuah halte dan kembali
mendengar suara: "Aku
anak Raja jin. Tinggalkan
Aku dan akan kuberikan
kamu apapun yang kamu
minta."
Abu Fahd tidak kembali
tetapi melanjutkan
perjalanannya dengan
langkah terburu-buru.
"Akan kuberikan kamu
tujuh guci yang dipenuhi
emas."
Abu Fahd
membayangkan dirinya
mendengar denting
cincin-cincin emas
berjatuhan dari tempat
didekatnya berdiri dan
membentur tanah.
Domba itu lolos dari
pegangannya, dan dia
kembali ke tempat tadi
seraya berucap: "Ayo kita
tangkap mereka."
Dia menemukan dirinya
sendirian di lorong
panjang yang sempit. Dia
tak menemukan domba
itu dan terpaku ngeri
pada noda yang
menerornya, kemudian
dengan tergesa-gesa
melanjutkan
perjalanannya. Saat tiba
di rumah dia bangunkan
istrinya Umi Fahd dan
menceritakan semua
yang dialaminya.
"Tidurlah, kamu mabuk,"
ujar istrinya.
"Aku hanya minum tiga
gelas."
"Satu gelas pun kamu
pasti mabuk."
Abu merasa dihina, maka
cepat dia menjawab:
"Aku tidak akan mabuk
walau harus minum
segalon arak."
Umi Fahd tak lagi
mengucapkan sepatah
kata pun, dan teringat
kenangan masa kecilnya
yang mendengar tentang
jin beserta kebiasaannya.
Abu Fahd menanggalkan
pakaiannya, mematikan
lampu, dan berbaring di
samping istrinya,
menarik selimut hingga
ke dagunya.
Mendadak Umi Fahd
berkata: "Mestinya kamu
tidak melepaskannya
sampai dia
memberikanmu emas."
Abu Fahd tidak
menjawab dan Umi Fahd
melanjutkan dengan
bersemangat, "Pergilah
besok, tangkap dan
jangan lepaskan."
Abu Fahd kelelahan,
menguap.
"Tapi bagaimana aku bisa
menemukannya lagi?"
tanyanya jemu.
"Tentu saja kamu akan
temukan lagi di bawah
jembatan. Bawa ke
rumah dan kita akan
melepaskannya sampai
dia mau menyerahkan
kita uang."
"Aku takkan bisa
menemukannya lagi."
"Di siang hati, Jin tinggal
di bawah tanah. Saat
malam mereka keluyuran
di permukaan bumi dan
bermain-main hingga
fajar tiba. Jika mereka
datang dari tempat yang
disukainya, dia pasti terus-
menerus kembali ke situ.
Kamu pasti akan
menemukan domba itu
di bawah jembatan."
Abu Fahd meletakkan
tangannya di dada
istrinya, dan merayap di
antara payudaranya,
tempat tangannya
berdiam.
"Kita akan kaya," ujar Abu
Fahd.
"Kita akan beli sebuah
rumah."
"Rumah dengan taman
indah."
"Dan kita akan beli radio."
"Radio yang besar."
"Juga mesin cuci."
"Sebuah mesin cuci."
"Kita tak lagi makan
gandum cacat."
"Kita akan makan roti
putih."
Umi Fahd tertawa seperti
anak kecil, ketika Abu
Fahd melanjutkan "Akan
kubelikan kamu sebuah
baju merah."
"Hanya sebuah baju?"
bisik Umi Fahd dengan
nada mencela. "Akan
kubelikan kamu seratus
baju."
Abu Fahd terdiam
beberapa saat, kemudian
bertanya "Kapan kamu
melahirkan?"
"Dalam tiga bulan?"
"Pasti laki-laki"
"Dia tidak akan menderita
seperti kita."
"Dia tidak akan kelaparan."
"Pakaiannya bagus-bagus
dan bersih."
"Dia tak perlu lagi mencari
pekerjaan."
"Dia akan bersekolah."
"Pemilik kos tak akan
memintanya untuk
menyewa."
"Dia akan menjadi dokter
ketika dewasa."
"Aku ingin dia menjadi
pengacara."
"Kita tanyakan saja
padanya: Kamu mau jadi
pengacara atau dokter?"
Umi Fahd memeluk Abu
Fahd dengan lembut dan
bertanya dengan cerdik
"Kamu tidak akan
menikah lagi?"
"Untuk apa aku menikah
lagi? Kamu, perempuan
terbaik di bumi."
Mereka tergelincir dalam
kesenyapan, terbenam
dalam kemenangan,
keheningan yang
membahagiakan.
Namun kemudian Abu
Fahd mengenyahkan
selimut dari tubuhnya
dengan gerakan tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Umi
Fahd
"Aku pergi sekarang."
"Ke mana?"
"Aku mau menangkap
domba itu."
"Tunggulah sampai
besok malam. Sekarang
tidurlah."
Tergopoh-gopoh
meninggalkan tempat
tidur, menyalakan lampu
yang tergantung di
langit-langit rumah, dan
mulai berpakaian.
"Mungkin kamu takkan
menemukannya."
"Pasti kutemukan."
"Hati-hati, jangan sampai
lepas lagi," ujar Umi Fahd
seraya membantu
suaminya
mengikat sabuk kuning di
pinggang suaminya.
Abu Fahd merasa sedang
berjudi dengan banyak
resiko. Dia mungkin
butuh goloknya, sebuah
golok berukiran dan
bersinar kehitam-hitaman.
Meninggalkan rumah dan
bergegas pergi ke bawah
jembatan, dia kecewa tak
menemukan domba itu.
Lorong kosong
melompong, jendela-
jendela rumah di
sepanjang sisi lorong
telah tertutup, lampu-
lampu sudah
dipadamkan.
Abu Fahd berdiri
menunggu, tak bergerak,
menyandarkan
punggungnya di dinding.
Tak Iama kemudian
terdengar olehnya suara
gaduh mendekat dan
segera muncul lelaki
mabuk yang terkejut dan
menabrak dinding
lorong, dia teriak dengan
suara tersengal: "Hei, Aku
laki-laki."
Setelah dekat dengan Abu
Fahd, lelaki itu berhenti
dan terbelalak terkejut.
"Apa yang kamu lakukan
di sini?" ucapnya saat
tersandung, suara
sedang.
"Pergilah."
Lelaki pemabuk
mengerutkan keningnya,
kemudian wajahnya
berseri gembira
"Demi Allah, Aku juga
mencintai perempuan.
Apakah kamu menunggu
suami tertidur dan
berharap istrinya
membuka pintu
untukmu?"
Abu Fahd terganggu; dia
jengkel dengan lelaki
mabuk itu yang berkata
lagi "Apakah perempuan
itu cantik?"
"Perempuan mana?"
jawab Abu Fahd gusar.
"Perempuan yang kamu
tunggu."
"Pergilah dari sini."
"Aku bisa menjadi
temanmu."
Abu Fahd marah, dia
takut domba tak mau
menampahkan diri
karena kehadiran lelaki
pemabuk ini.
"Pergilah atau
kupecahkan kepalamu,"
bentak Abu Fahd.
Lelaki mabuk
bersendawa. "Apa
katamu?" jawabnya
terkejut. "Kamu pikir
siapa dirimu?" Lelaki
mabuk itu diam sesaat,
kemudian
menambahkan: "Kemari
dan pecahkan kepalaku.
Ayo, kemari."
"Pergilah jauh-jauh dan
tinggalkan Aku," ujar Abu
Fahd. "Aku tak ingin
menghancurkan
kepalamu."
"Tidak, tidak," balas lelaki
mabuk marah.
"Kemarilah dan pecahkan
kepalaku." Dia mundur
dengan tenang dan
berkata dengan suara
senang, "Akan kuputar
kamu dalam alat
penyaring."
Lelaki mabuk itu
memasukkan tangannya
ke dalam kantong
jubahnya dan
mengeluarkan pedang
panjang. Segera Abu
Fahd meletakkan tangan
pada sabuknya, dan
menghunus goloknya,
ketika pemabuk itu
mendekatinya dengan
hati-hati tapi cepat. Abu
Fahd mengangkat
goloknya tinggi-tinggi
dan menurunkannya,
ketika lelaki mabuk itu
bergerak ke kini dengan
tiba-tiba sedemikian
tangkas sehingga golok
tidak menyentuhnya,
kemudian menusukkan
pedangnya ke dada Abu
Fahd, dan teriak: "Terima
itu!"
Sambil menarik
pedangnya dari tubuh
Abu, lelaki mabuk itu
mundur. Abu bersandar
ke dinding berlumpur
dan mengangkat kembali
goloknya pada
kesempatan kedua, tetapi
pedang tajam lelaki
mabuk sekali lagi
menghujam di dadanya.
Ayunan ketiga mengenai
bahu kanannya, lengan
kanannya pun lunglai dan
jejemarinya melepas
goloknya, yang jatuh ke
tanah.
Berjingkrak
mengelilinginya, lelaki
pemabuk teriak:
"Terimalah ini...dan ini..."
Lelaki itu menikam Abu
Fahd di pinggangnya.
Abu merintih dan
lututnya sudah melemah.
Dia berusaha untuk tetap
berdiri mantap di kakinya,
tetapi pedang panjang
kembali terayun
kepadanya, mengenai
tubuhnya dan merobek
tanpa henti.
"Terimalah itu," teriak
lelaki mabuk.
Dia menikam Abu Fahd di
perut dan mengeluarkan
isi perutnya. Tangan Abu
Fahd menekan perutnya:
isi perutnya panas, basah
dan berdenyut. Dia
memasukkan kembali
dan jatuh. Dia
menelentangkan diri,
ketika lelaki mabuk, yang
duduk di sampingnya,
batuk-batuk, muntah,
kemudian melarikan diri.
Abu Fahd mendengar
domba berkata padanya:
"Tujuh guci emas."
Banyak emas berjatuhan,
bersinar seperti matahari
kecil. Kemudian suara itu
mulai menjauh, dan
semakin jauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar